Masalah Waktu


             Seseorang menepuk pundakku. “Ran! Kamu ketua panitia Persami, kan?”
Aku membalikkan punggungku, ternyata Nadia. “Iya.” jawabku.
“Besok jadi rapat, kan ya?” tanyanya lagi.
“Jadi.”
“Di ruang berapa?”
“Sebelas..”
“Ehmm Ran, pesertanya—“ 
“Peserta rapat hanya untuk ketua dari masing-masiing divisi.” tandasku. Aku tahu yang ingin ditanyakanya. Pertanyaan yang selalu sama di setiap event. Raut wajah yang selalu sama di setiap pertanyaan yang sama. Ya, aku hapal semua, bahkan sejak aku masih duduk di sekolah menengah pertama.
            Nadia. Salah satu temanku dari SMP hingga SMA. Aku memang tidak terlalu—bahkan sangat tidak dekat dengannya. Aku berbicara dengannya hanya saat-saat seperti ini, saat aku menjadi ketua panitia dan dia menjadi sekretaris. Dan entah karena memang kami ‘berjodoh’ atau karena apa, sejak menginjak bangku SMA, dalam setiap kegiatan sekolah aku dan Nadia selalu di posisi yang sama. Hal itulah yang membuatku hapal dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan kepadaku.

                  “Jadi.. Saya kira semua jelas. Ada pertanyaan?”
Semua orang di ruangan diam. Hening. Baru saja aku ingin menutup rapat. Nadia mengangkat tangannya. Aku menghela napas.
“Ya Nad?”
“Bagaimana kalau misalnya di Bumi Perkemahan nanti mendadak hujan?”
Aku memutar bola mata. Selalu saja. “Urusan itu .. Ada yang punya pendapat?” Aku melemparkan pandangan ke peserta rapat. Namun ekspresi mereka tidak ada yang membuatku yakin bahwa mereka mempunyai solusi.
“Oke gini, ini sudah hampir maghrib. Aku rasa kita semua  udah capek banget. Jadi, pertanyaan tadi aku pending dulu. Setuju?”
“Setuju!!” sahut seluruh orang di dalam ruangan, kecuali Nadia.
            Aku memakai helm dan menaiki sepeda motorku, aku ingin segera enyah dari tempat parkir yang sumpek ini.
“Ran! Randy!!”
Aku ingin pura-pura tak mendengar, tapi rasanya keterlaluan. Aku pun menoleh ke sumber suara.
“Ha?” sahutku malas.
Nadia menatapku takut-takut. “Aku Cuma mau ngingetin, karya tulis ilmiah kita—“
“Iya, udah aku print. Aku tau, besok kita presentasi.”
Nadia tersenyum tipis. “Oh oke. Kamu mau pulang?”
“Ehm.”
“Hati-hati, ya. Aku duluan.”
“Ehm.”
Nadia meninggalkanku. Anak itu sepertinya sangat perduli dengan prestasi akademisnya. Bukan, ia sangat perduli dengan semua hal yang menyangkut dirinya atau dia terlalu khawatir. Dia takut apa yang terjadi tidak sesuai rencana. Tapi melihatnya, sejujurnya aku seperti melihat bayanganku sendiri namun dalam porsi yang lebih kecil.
           
            Aku sedang bosan mendengar guru Bahasa Inggrisku—Pak Heru--mengoceh di depan kelas—dengan Bahasa Inggris tentunya. Aku terlalu sering memperhatikan guru, mungkin sekali-sekali menjadi murid yang sedikit ‘bandel’ tak masalah. Aku mulai menyisir seluruh sudut kelas. Mulai dari papan tulis, proyektor, meja guru dan sejujurnya itu sangat tidak menarik. Aku melihat barisan paling sudut, mulai memperhatikan satu per satu teman sekelasku. Di sana hanya ada empat orang, dan keempat-empatnya sibuk berbicara dengan teman sebangkunya masing-masing. Selanjutnya, aku menyisir barisan nomor dua. Yang pertama kali aku lihat adalah.. Nadia. Nadia sedang melihatku? Aku balas melihatnya juga—menatap tepatnya. Beberapa menit kami saling tatap, kemudian mulut Nadia bergerak seperti memberitahuku sesuatu. Aku tak bisa mendengar suaranya, namun tiba-tiba ..
“Randy!”
“Ye .. yes, Sir!” aku tergagap. Pak Heru memanggilku ternyata.
“Read page 34.”
Aku mengambil buku sambil mengela napas lega. Aku mengira Pak Heru akan menegurku karena aku tidak memperhatikan pelajarannya.
           
            Sejak kejadian pandang-memandang tempo hari, aku melihat sedikit perubahan dari sikap Nadia. Aku merasa .. merasa diperhatikan olehnya. Dan entah kenapa, aku senang dengan hal itu. Hanya sekedar senang. Tidak, tidak .. walaupun mungkin aku tahu kalau aku menyukainya, tentu saja aku tidak akan berpacaran dengannya. Aku sudah memegang teguh pendirianku untuk tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa setudaknya sampai aku lulus kuliah. Lagipula, mana mungkin seorang Nadia Dawatari bisa menyukai seorang laki-laki saat ini. Ya, aku tahu, ia pasti mempunyai pendirian yang sama denganku.

            Aku tahu, jika aku terus dekat dengan Nadia seperti saat ini maka pendirian yang aku pegang selama ini akan runtuh. Aku tidak mau itu terjadi. Dan yang aku harus lakukan adalah menjauh darinya.
“Randy!”
Aku membalikkan tubuhku, mencari tahu siapa yang sedemikan cemprengnya memanggil namaku.
“Apa?”
“Sebentar deh.”
Tiara menarik bajuku, dan membawaku ke dalam kelas yang hanya berisi beberapa siswa.
“Kamu kok kayaknya jadi jauh gitu sama Nadia? Terus nada bicaranya ketus pula ..”
Aku berpikir sejenak, memikirkan kata-kata yang kiranya dapat diterima oleh Tiara dengan sekali jawab.
“Aku mau konsen UN.”
“Tapi, tapi, tapi .. Kamu tau gak, sih? Nadia itu .. suka sama kamu. Kamu kenapa nggak ngasih kepastian gini?” gumamnya.
Aku sebenarnya sangat terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Tiara. Entah harus senang atau sedih. Namun yang pasti, aku tetap pada pendirianku.
“Selama ini aku anggep dia itu temen, nggak lebih.” tukasku.
Tiara membelalakan matanya.
“Aku duluan.” Aku pun meninggalkan Tiara yang kelihatannya masih shock.
Saat aku berjalan, aku melihat Nadia berjalan mendekati Nadia. Saat bersebelahan, tatapan kami bertemu. Seketika mataku menjadi panas, dadaku menjadi sakit, dan pikiranku hanya tertuju pada satu orang, Nadia.

            Hanya sedikit perubahan yang terjadi pada Nadia. Dia sedikit cuek kepadaku, itu saja. Selebihnya, ia bersikap seperti biasa. Lain halnya denganku, yang masih saja menahan sakit yang lumayan jika melihat Nadia. Apalagi saat ia memperlakukan aku dengan sikap cueknya, aku dibuat risau setengah mati olehnya. Namun setiap rasa sakit itu ada, kata-kata PRINSIP sudah tertanam di kepalaku dan membuat rasa sakit itu seketika hilang.

            “Nad, selamat ya. Kamu perain nilai UN tertinggi di sekolah kita.” ucapku tulus sambil mengulurkan tangan di hadapannya.
Aku menyadari air muka Nadia langsung berubah saat mendengar dan melihat ucapan dan wajahku.
“Ah, iya. Makasih ya Ndy. Selamat buat kamu juga kamu diterima jalur unadangan, kan?”
Aku tersenyum. “Lha, kamu juga, kan? Dimana?”
“Aku di ITB” jawabnya.
Aku mengerenyitkan kening.
“Waw .. Aku juga di ITB. Jurusan apa kamu?”
“Aku di teknik kimia. Kamu dimana Ndy?”
Aku menelan ludah. Mengerjap beberapa kali. “A .. aku juga di tek..nik kimia.” ujarku tergagap.
Nadia mebelalakan matanya. Aku yakin, pasti dia sama terkejutnya denganku.
“Ehm.. Aku rasa kita berjodoh.” kataku.
“Ya kurasa. Dan aku akan merepotkan dan membuatmu panik lagi saat kamu jadi ketua panitia dan aku jadi sekretarisnya,”
Aku dan Nadia tertawa pelan.
“Aku nggak apa-apa direpotin,” aku menatap Nadia. “Asal kamu yang buat aku panik dan repot.”
Aku tersenyum sambil melirik Nadia. Aku  bisa melihat jelas rona merah yang terpancar dari pipinya. Dia pasti tahu maksud kata-kataku barusan.
            Masa bodoh dengan pendirianku tentang menjalin hubungan setelah lulus kuliah. Yang aku tahu sekarang aku bahagia, bersama Nadia tentu saja. 
R and N

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

SAYA DEAL DONE!

[CERPEN] Bagimu, Kita Hanyalah Dua Orang Asing

Sifat Penting yang Harus Dimiliki Pekerja: Gelas Kosong & Baby Eyes