Perpisahan Termanis

cerita sebelumnya...


Libur kenaikan kelas, aku dihantui oleh telepon dan sms iseng yang kerap kali menganggu. Awalnya nomor iseng ini hanya mengsmsku sehari sekali, menjadi dua kali sehari, lalu tiga kali sehari.

Hai, leh ‘nal?

Semua pesan bunyinya sama dan tak pernah kutanggapi. Mungkin kesal, nomor iseng ini mulai ekstrim, ia meneleponku, namun ketika aku angkat dia langsung mematikan sambungan telepon. Orang ini pun meneleponku tak kenal waktu, pernah ia menelepon ketika tengah malam. 

Akhirnya aku mengganti nomor handphone. Dan sejak itu nomor iseng yang sering mengganggu tak pernah lagi menghubungi sampai aku masuk sekolah.

Suatu malam, tiba-tiba nomor iseng itu menelepon. Walau tidak kusimpan, tetapi aku masih sedikit hapal dengan nomornya.

“Halo.” 

“Halo, ini Lia?” kali ini si penelepon tidak menutup sambungan.


“Ini siapa sih? Kok bisa tahu nomorku?”

“Ini Iqbal.”


Satu-satunya Iqbal yang kutahu adalah anak kelas 9C. Tapi masa, sih, Iqbal yang ‘itu’?

“Muhammad Iqbal?” aku memastikan.

“Iya.”

“Tahu nomorku dari mana?”

“Rahasia. Hehehe.” Kemudian orang yang mengaku bernama Iqbal tadi menutup sambungan telepon.

“Put, kira-kira dia beneran Iqbal bukan, sih? Apa dia cuma ngaku-ngaku? Iqbal kan aneh gitu…”

“Dia misterius, Li. Aneh itu mantanmu!” sergah Putri.

Ngomong-ngomong, ketika putus dengan Kenny, banyak yang memberikan ‘selamat’ kepadaku. Malik terutama. Dia terang-terangan berkata bahwa “sepupunya” akhirnya sadar bahwa berpacaran dengan Kenny yang freak, aneh, dan gila adalah sebuah kesalahan. Padahal aku putus dengan Kenny, kan bukan karena alasan itu.  

Oh ya, ngomong-ngmong lagi, Malik si tukang provokator yang sudah kebal sama hukuman itu sepupuku. 

Kembali ke Iqbal. 

Seperti yang kukatakan tadi, Iqbal adalah anak seangkatanku dan kami pernah sekelas ketika kelas tujuh dan delapan.

Iqbal memang agak berbeda dengan anak laki-laki lainnya. Dia lebih sering kulihat sendirian daripada bergaul dan berkumpul dengan teman-temannya. Dia juga cenderung pendiam dan hanya berbicara jika diminta. Karena itu, rasanya aneh jika Iqbal yang menjadi dalang nomor iseng yang menganggu hari liburku kemarin.

Besok malamnya, Iqbal meneleponku lagi.

“Kamu lagi sendirian nggak? Sekarang ada yang tahu kalo aku lagi nelepon kamu?” tanyanya.

Aku melirik tempat tidur Putri. Ia sudah tertidur, namun untuk berjaga-jaga, aku keluar kamar dan mengasingkan diri.

“Nggak ada, aku lagi sendirian. Kenapa?”

“Aku mau kita pacaran.” 

“HA?!” aku shock.

“Iya. Aku mau kita pacaran, tapi jangan ada yang tahu.” 

“Hmm…” aku belum bisa menghilangkan rasa kagetku. 

Ada apa, sih dengan anak ini?

Tuut. Tuut. Tuut.

Sambungan telepon dimatikan. 

Beberapa menit setelah itu, sederet nomor yang tak kukenal menghubungiku.

“Halo?”

“Lia.. Ini Bu Puspa.”

Bu Puspa merupakan guru termuda yang mengajar di sekolahku. Kuperkirakan saat itu umurnya tak lebih dari 25 tahun.

“Iya, Bu… Kenapa, ya?”

“Kamu barusan ditelepon Iqbal, ya?” 

Setelah itu mengalirlah cerita lengkap mengenai Iqbal yang ternyata adalah keponakan dari Bu Puspa. Bu Puspa bercerita bahwa Iqbal adalah anak yang pendiam, pemalu dan tidak tahu cara berkomunikasi. Karena itu, sebagai tante yang baik tentunya Bu Puspa berusaha agar Iqbal memiliki teman berbagi di sekolah. 

“Pas saya tanya dia ada tertarik sama cewek apa enggak. Dia langsung nyebut nama kamu, yaudah saya suruh aja dia nembak kamu. Maksud saya, kalo kalian pacaran, kan dia jadi ada temennya juga, gitu. Gimana? Kamu nggak suka sama dia nggak papa. Pura-pura aja suka, yang penting kamu jadi temen buat dia cerita aja.”

Akhirnya aku berpacaran dengan Iqbal. Tanpa sepengetahuan siapa pun, kecuali Bu Puspa.

Karena hubungan kami backstreet, baik aku maupun Iqbal tidak pernah bertemu secara personal. Kami hanya berpacaran lewat sms dan telepon—itu pun aku harus mengendap-endap jika menerima telepon darinya. 

Iqbal sangat rajin mengirimi sms. Dia banyak bercerita kepadaku. Dia sangat berbeda dengan Iqbal yang kukenal di sekolah. Bahkan, dia lebih cerewet dibandingkan aku. Aku yang semula hanya menanggapi seadanya lambat laun mulai terbawa perasaan. Aku mulai terbiasa dengan namanya di list inbox-ku dan kehilangan jika sehari saja tak mengirimiku pesan. Kudapati diriku nyaman dengan kehadirannya, sering kali diam-diam kami saling melempar senyum jika tanpa sengaja bertemu di sekolah. 

Tetapi sesuatu yang buruk terjadi. 

Tersebar kabar bahwa Iqbal si anak misterius sudah memiliki pacar. Dalam kabar itu, Iqbal berpacaran bukan denganku, tetapi dengan junior kelas delapan bernama Nindi. Dan yang paling buruk, kabar itu bukan hanya sekadar gosip belaka. Aku sendiri yang mengonfirmasi kepada Nindi, dia dengan wajah tersenyum malu-malu mengiyakan pertanyaanku. Padahal saat itu aku ingin sekali meninju wajahnya. 

Sejak saat itu aku tak pernah lagi menanggapi sms dari Iqbal. Telepon darinya pun ku-reject.

“Kamu kok nggak pernah bales sms atau ngangkat telepon dari Iqbal?” Bu Puspa turun tangan, sepulang sekolah ia secara khusus menemuiku. 

“Dia pacaran sama Nindi terang-terangan. Terus maksudnya selama ini sama aku itu apa?”

“Kamu, sih, cuek banget sama dia. Kata Iqbal kamu lebih seneng deket sama temen-temenmu daripada sama dia… Setiap dia deketin kamu, kamu langsung pergi, pura-pura nggak tahu. Lagian bukan Iqbal yang nembak Nindi, tapi Nindi yang nembak dia. Dia juga nggak nyangka kalo kabarnya jadi menyebar kayak gini, dia nerima Nindi karena kasian dan juga gara-gara kamu cuek gitu.”

Saat itu aku terima-terima saja alasannya. Tetapi aku baru menyadari sekarang, Helowww… Kita lagi pacaran diem-diem, gimana caranya mau nggak cuek???

Besoknya aku, Iqbal, Nindi dan Bu Puspa berada di satu ruangan. Bu Puspa memutuskan untuk menyelesaikan masalah cinta segitiga di antara kami. Kala itu, masalah ini menjadi masalah paling pelik dalam hidupku. 

Percakapan dimulai dengan pertanyaan Bu Puspa kepada Nindi. Setelah itu Bu Puspa menjelaskan semuanya kepada Nindi. Tentang aku dan Iqbal. Tentang alasan Iqbal menerima Nindi. Dan pertemuan diakhiri dengan permintaan maaf Iqbal kepadaku dan Nindi. 

Nindi menangis, tentu saja, aku juga akan melakukan hal yang sama kalau jadi dia. 

Setelah itu, hubunganku dengan Iqbal membaik dan semakin membaik. 

Sampai kami tiba di hari terakhir kami berada di sekolah. 

Aku dan Iqbal sama-sama sudah memiliki rencana untuk melanjutkan SMA. Aku berencana melanjutkan SMA di Yogya, sedangkan Iqbal akan pulang ke kampung halamannya. Intinya, kami akan bersekolah di provinsi yang berbeda. Kabar buruk untuk hubungan kami, tetapi entah kenapa ketika itu tak ada sedikit pun bahasan mengenai kelanjutan hubungan kami yang akan terpisah oleh selat sunda ini. 

Kami hanya ingin mengobrol berdua, menghabiskan waktu, dan memandang wajah satu sama lain yang entah kapan bisa dilihat lagi. Hari itu berakhir dengan tautan dua jari kelingking kami—dia selalu menganggap jika berpegangan tangan belum cocok dilakukan oleh anak seumuran kami, kami berjalan menuju asrama kemudian berpisah di persimpangan. Dia menuju asrama putra. Aku menuju asrama putri.

Say goodbye and just fly away~~

Sampai sekarang, hari itu masih menjadi pertemuan terakhirku dengannya.


Comments

  1. Aku terzholimi ni...
    Sama namanya iqbal...
    Ahahaha....

    Demo ni...
    Critanya jauh ni..
    Jauuuuuuhhhhh banget...dri realnya....

    ReplyDelete
    Replies
    1. week :p lha kan hampir gitu? bikin cerita versimu sini :p

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

SAYA DEAL DONE!

[CERPEN] Bagimu, Kita Hanyalah Dua Orang Asing

Sifat Penting yang Harus Dimiliki Pekerja: Gelas Kosong & Baby Eyes