Si Pengemudi Sepeda Roda Empat



                “Huaaaah! Huaaaah! Huaaah!” Suara tangisan anak kecil membangunkan tidurku, sedikit mengganggu, pasalnya, baru saja aku tidur satu jam yang lalu, semalam aku harus mengerjakan setumpuk dokumen kantor yang harus dirampungkan hari itu juga. Padahal aku mengira hari ini aku bisa tidur dengan tenang, mengingat hari ini hari Sabtu, biasanya jam tujuh pagi sampai tengah hari lingkunganku sepi, anak-anak masih harus menyelesaikan hari terakhirnya dalam sepekan untuk sekolah. Dan sekarang hal yang harus aku terima adalah saat aku melihat tanggal dan hari ini tanggal merah, berarti tidurku tak akan pulas.
            Aku mengintip lewat jendela, anak-anak kecil itu tepat di depan rumah ku, beberapa anak lelaki mengerubungi anak yang sedang menangis tadi.
“Hahahaha, Evan enggak bisa naik sepeda roda dua, Ais aja yang masih TK udah roada dua,” jar seorang anak sambil tertawa.

“Iya nih, ih, malu dooong, hahaha.” Sahut yang lainnya.
“Huaaaaaaaah!” suara tangisan anak yang ku duga bernama Evan semakin memekakkan telinga, dan aku pun sedikit iba kepadanya.
Aku keluar rumah, dan menghampiri mereka. “Eh ini kenapa? Temennya kok dibuat nangis?”
Anak-anak yang tadi mengerubungi Evan perlahan mundur serentak dan berlari meninggalkanku dan Evan.
            Aku melihat Evan yang masih menangis sesenggukan, aku ingat, Evan adalah tetanggaku, namun aku jarang sekali berbicara dengannya. Setiap aku berangkat ke kantor, Evan belum terlihat, tapi saat aku pulang dari kantor, aku yakin Evan sudah tidur pulas di kamarnya.
“Kamu kenapa?” tanyaku.
Evan menghentikan tangisnya. “A.. aku di.. diejekin temen-temen, mereka bilang, aku udah kelas satu SD tapi enggak berani naik sepeda roda dua.” Jawab Evan terbata-bata.
Aku tersenyum, lalu menggendongnya.
“Kamu kok sendirian?”
“Enggak, itu Mbak Siti.” Evan menunjuk pengasuhnya yang sedang asyik menjemur sambil melenggang dengan headset tertempel di telinganya, jelas saja ia tak mendengar raungan anak majikannya.
“Ya udah, kamu ikut oom yuk,”
Tapi, Evan menggeleng cepat. “Enggak mau oom, kata Mama aku enggak boleh ikut sama orang asing,”
Aku tersenyum. “Oom kan tetangganya Evan.”
“Oom mau ngajak aku kemana?” tanyanya ragu-ragu.
“Enggak jauh kok, Cuma ke rumah oom.”
Evan berpikir sejenak, membuatku sedikit geli dengan raut wajahnya. “Oke oom.”
            Kami masuk ke rumahku, langsung menuju meja persediaan makanan kecilku.
“Kamu mau?” tanyaku.
Mata Evan berbinar-binar, senyuman lebar tersungging dari bibir mungilnya. “Mauuu! Oom coklatnya banyak banget,”
Aku tersenyum. “Ya, untuk penghilang stress,”
Evan melihat wajahku. “Stress itu apa, Oom?”
Aku mengacak-acak rambutnya. “Kalo kamu udah dewasa, kamu pasti tahu kok.”
Evan mengangguk-angguk lalu mengambil coklat belgian berbungkus merah.
“Aku mau ini, Oom.” Katanya.
Aku mengangguk, tiba-tiba, tok, tok, rok, seseorang mengetuk pintu depan rumahku.
“Evaaaan! Evaaaan!”
Aku membuka pintu depan rumahku, ternyata pengasuhnya Evan.
“Aduuuuh, Van, mba cariin kok kamu ngilang, sih?” tanyanya panik langsung menggendong Avan.
“Haaah, Mbak Siti, sih, aku nangis, enggak tau, kan? Untung ada Oom ini.”
“Iya Van, jangan dibilangin sama Papa yaaa, o, ya, makasih ya, Mas.”
Aku mengangguk dan melihat pengasuh Evan beranjak dari teras rumahku.
            Baru saja aku hendak menutup pintu, tiba-tiba Evan menarik tanganku.
“Oom, aku jago banget naik sepeda roda empat, tapi aku harus bisa naik sepeda roda dua, biar enggak diejek lagi, Papa sama Mamaku sibuk terus, Oom mau ngajarin aku naik sepeda roda dua enggak?”
Aku menggaruk kepalaku. “Gimana ya? Oom bisanya hari Minggu aja Van,”
Evan mengangguk-angguk. “Ya udah Oom, enggak papa, besok bisa, kan Oom?”
Aku mengangguk pelan, lalu Evan beranjak dari hadapanku, ketika pengasuhnya memanggil-manggil namanya.
***
            Tok, tok, tok. Aku meraih jam wekerku, jam enam pagi! Astaga tega nian yang mengetuk pintu rumahku sepagi ini.
“Oom! Oom!”
Aku langsung bangkit dari tempat tidur mendengar suara Evan, aku lupa, kalau hari ini aku berjanji mengajarinya mengendarai sepeda roda dua. Aku segera ke kamar mandi , mencuci mukaku dan segera membuka pintu.
“Ayoo Oom.”
Evan menarik tanganku, aku pun mengikutinya.
            Hari Minggu ini, seharian aku mengajari Evan bersepada roda dua, hal yang tak pernah ku lakukan sebelumnya, hari Minggu-Minggu yang lalu hanya ku habiskan dengan tidur di kos-an temanku. Dan yang membuatku betah menemani Evan adalah dia selalu bercerita apa saja, tentang yang ia lihat, ia dengar dan ia rasakan, bahkan ia juga sesekali menanyaiku.
“Oom, Oom sayang enggak sama Papa dan Mama, Oom?”
“Sayaang dong, kamu? Sayang enggak?”
Evan berpikir sejenak, lagi-lagi ia membuatku geli. “Sayang Oom, tapi kok aneh, ya? Kalo Mbak Siti nonton tivi, kok malah anaknya jahatin Papa sama Mamanya, sih?”
Aku terdiam, menepuk jidatku. “Yaaa, mereka itu orang jahat, dan kamu enggak boleh niru mereka, ya.”
Evan mengangguk-angguk dan tersenyum lebar. “Iya Oom, aku tahu kok, walaupun Papa sama Mama  jarang ada di rumah, tapi, pasti Papa sama Mama kerja buat Evan juga, ya, kan Oom?”
“Ha? Iya, iya.” Aku mengelus rambut Evan, sedikit kagum padanya.
“Evaaaaan!! Ayo masuk, udah Maghrib lho, kam belum mandi, kaaaan?” terdengar suara Mbak Siti melengking jelas di telingaku.
“Iya Mbaaak! Oom, Minggu depan lagi, ya?” Evan berlalu dari hadapanku.
***
            Aku masih tak menyangka, hari ini adalah hari Senin, aku masih sangat lelah. Mengajarkan Evan bersepeda roda dua kemarin benar-benar menguras keringat. Dengan lesu aku pun mengeluarkan seped motorku dari garasi, sesekali aku melihat rumah Evan, lalu tersenyum melihat kelakuan Evan. Kedua orangtuanya pasti sudah berangkat ke kantor sejak subuh tadi dan pasti Evan masih tidur.
***
            Jam sepuluh malam aku baru keluar dari ruangan kerjaku, awal pekan yang sangat melelahkan, apalagi tadi pagi, baru saja aku masuk ke ruanganku, aku sudah ‘disemprot’ oleh sekretaris direktur di kantorku, karena tugas lemburku kemarin malam tak sesuai harapan Sang Direktur dan aku harus mengulangnya lagi.
            Aku tak langsung memasukkan sepeda motorku ke dalam garasi, aku berhenti sejenak, melihat keramaian tapi hening di sekitar rumah Evan. Beberapa orang keluar dari rumahnya dengan muka sedih, dan beberapa lagi menangis terisak. Merasa tak beres, aku menghampiri orang-orang itu.
“Maaf Pak, ada apa, ya?”
“Ini Mas, Pak Krisna sama Bu Krisna, tadi pagi kecelakaan terus meninggal.”
“Innalillahiwinnalillahiroji’un... Terimakasih, Pak, saya mau ganti baju dulu.”
Aku segera meninggalkan bapak tadi. Mandi, ganti baju, lalu melesat ke rumah Evan.
            Sambil membaca surah Yasin, sesekali aku melirik ke arah Evan yang sedang tertidur pulas di pangkuan seseorang, mungkin neneknya. Aku menarik napas panjang, baru kali ini aku melihat anak seumur Evan sudah ditinggal ‘pergi’ oleh kedua orangtuanya.
***
            Aku melirik jam dinding di kamarku, jam sembilan pagi. Aku mulai risau menunggu, Minggu kemarin bukankah Evan sudah berjanji kalau hari setiap hari Minggu ia ingin berlatih mengandarai sepeda roda dua? Kenapa dia belum datang? Akhirnya aku memutuskan untuk datang ke rumahnya.
            Tok, tok, tok, aku mengetuk rumah Evan. Seseorang membuka pintu, pengasuhnya Evan.
“Iya Mas, ada apa, ya?”
“Ehm, saya mau nyari Evan, dia ada?” tanyaku langsung.
Pengasuh Evan yang tadinya hanya mengeluarkan kepalanya, sekarang ia sepenuhnya keluar dari rumah.
“Aduh Mas, Evan itu sudah pindah ke rumah Oma-nya, dia sekolah di sana,”
“Oh, ya sudah, terimaksih ya Mbak,” aku meninggalkan rumah Evan.
“Mas, tunggu dulu!”
Aku menahan langkahku, dan berbalik ke sumber suara.
            Sambil tergopoh-gopoh, pengasuh Evan mendatangiku.
“Aduh, aku lupa Mas ngasih ini, ini titipan dari Evan.” Pengasuh Evan menyodorkan amplop putih kepadaku.
“Oh, makasih ya Mbak.”
Aku menundukkan kepalaku, memperhatikan amplop yang ada di tanganku.
            Sesampainya di rumah, aku merobek bagian samping amplop itu dengan hati-hati. Aku tersenyum tipis tatkala melihat kertas di dalam amplop yang dibubuhi tulisan pendek dan sangat tidak rapi.
                Oom, ini Evan. Besok Evan mau pindah ke rumah Omah. Jadi, Evan minggu depan enggak bisa belajar sepeda roda dua lagi. Tapi, kata Omah, Oom boleh kok ke rumah Omahnya Evan. Alamatnya minta sama Mbak Siti ya, Oom.
            Aku memasukkan surat Evan ke dalam amplop, masih tetap tersenyum.Aku menyambar jaket dan mengeluarkan sepeda motorku dari garasi. Munuju ke rumah neneknya Evan. Memenuhi keinginan Evan, aku akan mengajarinya mengendarainya sepeda roda dua sampai bisa. 

Comments

Popular posts from this blog

SAYA DEAL DONE!

[CERPEN] Bagimu, Kita Hanyalah Dua Orang Asing

Sifat Penting yang Harus Dimiliki Pekerja: Gelas Kosong & Baby Eyes