Pyschopath?
Dylan menodongkan pistolnya.
“Lan,
kau tahu, kan? Kita masih bisa berunding tentang hal ini. Kau tak perlu
menggunakan kekerasan,”
Dylan
tersenyum. “Ya memang. Kita masih bisa membicarakan,” lalu ia memasukkan pistol
tadi ke dalam saku celananya.
Semua
orang yang ada di hadapan Dylan bernapas lega.
“Tapi,
hari ini aku ingin membunuh seseorang, atau.. sekelompok orang memuakkan.”
Dylan mengambil pistolnya dan mengangkat satu alisnya.
Dor! Dor! Dor! Dor! Empat orang yang
sedang berhadapan dengan Dylan langsung terkapar. Sedangkan tiga orang yang ada
di belakang Dylan hanya menelan ludah, mereka pengikut Dylan dan sudah biasa
menyaksikan hal seperti ini. Namun, tetap saja mereka tidak bisa bernapas
biasa, salah-salah, pemimpin mereka sedang badmood
dan memecahkan kepala mereka juga. Tidak ada yang tahu suasana hati Dylan.
Jika ia berkata ingin membunuh, maka ia akan benar-benar melakukannya tanpa
perduli ‘kawan atau lawan’.
“Lan,
beberapa kilometer dari sini ada kantor polisi. Aku yakin, polisi pasti sudah
mendengar suara tembakan dari sini,” ujar seorang pengikut Dylan.
“Aku
tahu. Kalian pergilah, aku akan menghilangkan jejak dahulu,” kata Dylan sembari
menggosokan sapu tangannya ke gagang pistol.
“Baiklah.
Kami akan menunggumu di tempat biasa.” Ujar pengikutnya yang lain.
Ketiga pengikut Dylan meninggalkan
Dylan. Sepeninggal mereka, Dylan menaikkan alis sebelah kanannya sembari
tersenyum.
“Saksi pembunuhan harus mati.” Gumamnya.
*
“Sudah lama menunggu?”
Dylan
menarik pelatuk pistolnya. Kontan ketiga orang yang tadinya sedang asyik
menegak sebotol wine melihat ke
sumber suara.
“A..
Apa maksudmu?”
“Tidak,
aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin bersenang-senang.”
Dylan
menaikkan satu alisnya.
“Ja..”
Dor!
Dor! Dor!
“Cukup untuk hari ini.” ujarnya sendiri,
lalu beranjak dari tempat itu. Namun, baru saja ia membalikkan badannya ia
mendapati seorang gadis yang berdiri dan menatapnya penuh ketakutan.
Dylan
tersenyum pongah, dan mengambil pistol yang tadi diletaknya di dalam kantong
celananya.
“Sepertinya
hari ini kau bernasib sial,” ujarnya.
Gadis
itu berdiri dengan kaki gemetar, kemudian ia menutup matanya bersiap untuk
menyambut kematian yang sudah ada di hadapannya.
“Tapi
mungkin kau beruntung,” Dylan kembali memasukkan pistolnya ke dalam sakunya.
“Hari ini aku sudah membunuh tujuh orang bangsat, dan aku tidak akan
menambahnya menjadi delapan. Aku tidak suka angka genap.” Kemudian Dylan
berlalu dari hadapan gadis itu dan masuk ke dalam mobilnya.
Walaupun
tidak mengerti dengan alasan kenapa pria yang dihadapannya tidak jadi
membunuhnya. Gadis itu bersyukur dan bernapas lega.
“Tapi..”
Dylan keluar dari mobilnya. Gadis itu mundur dan menahan napasnya. “Jangan
coba-coba untuk membuka mulutmu pada siapapun tentang ini, jika kaulakukan, dapat ku pastikan besok kau tidak akan melihat matahari lagi.”
Gadis
itu mengangguk tergagap.
“Dan..
kalau kau tidak ingin berurusan dengan polisi, sebaiknya kau pergi dari sini.”
Tambah Dylan.
Gadis
itu menggangguk lagi dan ia melangkahkan kakinya yang lemas dari tempat itu.
*
“Selamat pagi, Pak.” Sekretaris
Dylan masuk ke dalam ruangan Dylan.
“Ehm.”
Tanggap Dylan, masih serius berkutat dengan laptopnya.
“Ini
ada beberapa berkas yang ingin melamar kerja, silakan bapak cek,”
Dylan
menerima beberapa map yang diberikan oleh sekretarisnya. Dylan membuka map
tersebut satu persatu.
Dylan
mengernyitkan keningnya ketika membuka map yang kedua.
“Panggilkan
orang ini,” perintahnya.
Sekretaris
Dylan mengangguk, lalu keluar dari ruangan Dylan.
Beberapa menit kemudian, sesosok
gadis perawakan tinggi yang kira-kira 170-an masuk ke ruangan Dylan.
“Permisi,
Pak. Saya.." Gadis bertubuh layaknya model itu tertegun saat melihat wajah
calon bos-nya.
“Waw,
kebetulan kita bertemu kembali.” ujar Dylan, kemudian ia tersenyum.
Gadis
itu menatap Dylan ngeri. Masih lengket dalam ingatannya peristiwa kemarin. Saat
ia lewat di depan gudang dekat rumahnya. Saat ia menyaksikan tiga orang tewas
dalam sekali tembak dan parahnya lagi saat ia dipergoki oleh si pembunuh lalu
diancam oleh orang gila itu.
Dan bagaimana bisa, sekarang ia berhadapan dengan pembunuh itu dengan statusnya
sebagai direktur di perusahaan tersohor se-Asia?
“Nama
Anda, Alexis Sandradewi. Pendidikan, S2 di jurusan Psikologi. Benar?”
Gadis yang bernama Alexis tadi mengangguk
pelan.
“Oke. Besok kamu mulai kerja di sini.” Ujar
Dylan seraya meletakkan map yang berisi berkas-berkas Alexis ke dalam tumpukan
kertas.
Alexis ternganga. Ia baru saja berdoa agar
tidak diterima di perusahaan tempat ia berdiri sekarang.
“Ta... Tapi saya belum diwawancara. bagaimana
bisa—“
“Kau ingin bekerja, atau kau tidak akan kerja
perusahaan manapun?”
Alexis menelan ludah. Dia tahu besarnya nama
Dylan Prakasa di kancah perindusrian. Eksekutif muda yang apapun keinginannya
pasti dipatuhi dari semua jenjang perusahaan karena kekuasaannya yang sangat
luas. Namun Alexis tak menyangka, eksekutif muda itu adalah seorang pembunuh.
“Ya, Pak. Besok saya masuk. Terimakasih.”
Akhirnya Alexis menuruti keinginan Dylan.
*
Dylan
baru saja keluar dari kantor dan ia merasa tubuhnya lelah luar biasa karena ia
lembur. Saat ia berjalan ke parkiran yang ada di basement, Dylan merasakan
dirinya sedang diawasi. Perlahan, ia merogoh sakunya.
Sial. Aku tidak membawa pistol! Dylan pun melangkah dengan
hati-hati. Sesekali mata Dylan melirik ke kanan dan kiri. Namun, saat ia baru saja
ia menancapkan kunci di lubang kunci mobilnya, tiba-tiba ia dipukul oleh
seseorang. Belum sempat Dylan berbalik dan membalas. Orang itu memukul
tengkuknya menggunakan benda tumpul. Dan kemudian semuanya menjadi gelap.
Dylan
membuka matanya. Dylan merasakan sekujur tubuhnya sakit semua. Ia baru
menyadari kalau tadi ia telah diserang dan ia masih ada di basement.
Tentu
saja tidak ada yang menemukannya tergeletak di sini, dialah orang terakhir yang
ada kantor. Satpampun pasti menduga kalau sudah tidak ada orang lagi dikantor, pikir
Dylan.
“Sial. Aku dirampok.” pekiknya.
“Bukan. Bukan perampok.”
Tiba-tiba suara seorang gadis mengejutkan
Dylan. Dylan pun segera berdiri dan ia mendapati Alexis sedang melihat ke
arahnya.
“Tidak ada yang hilang. Kunci mobilmu masih
menancap pada tempatnya.” ujar Alexis lagi.
Dylan melihat ke pintu mobilnya. Alexis
benar, orang itu bukan perampok.
“Sepertinya dia ingin memperingatkanmu. Jangan membunuh lagi!” Alexis melakukan penekanan pada kalimat akhir.
Dylan tertawa pelan. “Selama seminggu kau
berkerja di sini, baru kali ini kau bicara banyak. Dan sayanganya
kalimat-kalimatmu itu terkesan menggurui.”
Alexis terdiam.
“Dan perlu kau ketahui, selama aku melakukan
aksi membunuh, aku dapat memastikan kalau tidak ada yang kubiarkan hidup di
tempat itu. Hanya satu orang yang kubebaskan, dan itu KAU!”
Alexis mengangkat kepalanya. Kali ini ia
memberanikan menatap Dylan.
“Aku hanya ingin menyadarkanmu. Kau psikopat!”
Dylan mencekik Alexis dan menyudutkannya ke
dinding. Dylan menatap Alexis tajam. Setelah beberapa menit saling tatap, Dylan
merenggangkan cekikannya.
“Aku tidak berurusan denganmu dan perempuan
manapun.” ujar Dylan, lalu ia melepaskan cekikannya dan meninggalakan Alexis.
“Ada apa? Bukannya seorang psikopat tidak
perduli dengan siapapun?”
“Karena AKU BUKAN PSIKOPAT!” Dylan duduk di
jok mobilnya, membanting pintu mobil dan melajukan mobilnya meninggalakan
Alexis yang tertegun dengan kalimat Dylan.
*
“Diam!
Aku tidak akan mendengarkan penjelasan apapun darimu Pak Tua! Dan kau juga
tidak perlu bertanya siapa aku, karena percuma! Hahaha.”
“Tolonglah, Tuan. Apa kau tak bisa iba pada
orang tua ini? Aku masih ingin melihat putri semata wayangku menikah.
Tolonglah, berbaik hati sedikit. Jika putriku sudah menikah aku akan ikhlas
meninggalakan dunia.”
“Kubilang diam!”
Dor! Dor! Dor! Dylan memecahakan kepala orang
yang berumur 60-an dihadapannya.
Dylan
memasukkan pistolnya ke dalam sakunya. Saat ia berbalik, ia tidak bisa menahan
rasa terkejut sekaligus rasa gelinya.
“Kau lagi. Kau sengaja mengikutiku? Ingin
sepertiku juga?” Dylan tertawa pelan.
“Kau tidak jadi membunuhku, tapi kau membunuh
ayahku! Kau memang psikopat! Harusnya aku membunuhmu malam itu, harusnya aku
tidak percaya saat kau berteriak dan berkata kalau kau bukan psikopat. Harusnya
aku tidak lupa, kalau psikopat itu penipu ulung!”
Dylan tertegun.
“Sekarang aku tidak perduli lagi dengan
ancamanmu. TERSERAH! Kau akan kulaporkan!”
Alexis mengutak-atik handphonenya sambil
berlinangan air mata. Tangannya bergetar hebat. Tak pernah ia merasakan amarah
sehebat ini. Sedangkan Dylan, masih shock
dan hanya memperhatikan Alexis.
“Argh!!!” Alexis melempar handphonenya. Ia tidak
bisa memencet nomor siapa atau apapun karena tangannya bergetar hebat.
“Aku tidak pernah semenyesal ini setelah
membunuh orang. Biasanya aku membunuh dan merasa lega. Tapi saat ini..
perasaanku jauh dari lega. Aku membunuhnya bukan karenamu atau tentang kejadian malam itu. Ini
tentang kejadian lima belas tahun yang lalu..”
*
Dylan
memandangi setiap sudut kamarnya.
“Tenang Lan, kamarmu nanti akan lebih baik
dari ini.” Seorang pria yang berumur 40-an menepuk pundaknya pelan.
“Terimakasih Om. Saya hanya sedih jika harus
meninggalkan tempat ini. Pasti saya akan sangat merindukan panti ini.
Bagaimanapun, panti inilah yang membuat saya hidup.”
“Jangan berlebihan Lan. Kau masih bisa ke
sini, rumahmu tak jauh dari sini. Dan satu lagi, jangan panggil saya Om. Saya
ini sudah menjadi ayahmu, ingat?”
Dylan tersenyum dan mengangguk.
“Kenapa
kalian lama sekali? Hani sudah tak sabar menunggu.” Ujar seorang wanita kepada
Ayah dan Dylan.
“Ada sesuatu yang kami perbincangkan,” Ayah
menyentuh pundak Dylan lalu mengerlingkan matanya.
“Baiklah.. Urusan Ayah dan anak laki-lakinya,
ya?”
“Hmm.. Dylan, perkenalkan. Ini Ibumu, Rose.
Dan ini adikmu, Hani.” Ujar Ayah.
Dylan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan
kepada Rose. Namun Rose hanya menatapnya tersenyum dan menarik Dylan ke dalam
pelukannya. Hal itu membuat Dylan menyadari sesuatu. Ia akan mempunyai
keluarga, keluarga yang selama ini diidam-idamkannya. Keluarga yang hangat dan
saling berbagi kasih sayang.
“Ayolah, makan malam sudah menunggu kita di
rumah.” Ayah mengajak keluarganya pulang.
Setelah berpamitan dengan pengurus panti, Dylan
dan keluarga barunya pun pulang.
Dylan
terbangun dari tidurnya lantaran mendengarkan suara bisik-bisik tepat di depan
kamarnya. Dylan melihat jam dinding kamarnya. Kamar yang baru ia tempati empat
jam yang lalu.
“Sudah, semuanya sudah mati. Mereka hanya
mempunyai satu anak.”
“Periksa semua kamar. Jangan biarkan ada yang
tersisa satu pun! Ingat, buat seolah-olah kalau mereka adalah korban
perampokan.”
Napas Dylan tercekat. Jantungnya yang sedari
tadi beristirahat mendadak dipaksa bekerja lebih cepat. Napasnya yang tadinya
teratur mulai diatur untuk naik turun dengan cepat.
Krek. Perlahan pintu kamar Dylan terbuka. Secepat
kilat Dylan mencari tempat untuk bersembunyi.
Dylan mengawasi orang yang membuka pintu
kamarnya dari kolong tempat tidur. Dylan bisa melihat jelas wajah orang itu,
dan ia akan mengingatnya.
“Aman.” Kata orang yang memeriksa kamar Dylan
tadi. Orang itu keluar dan menutup kamar Dylan.
Dylan
masih bersembunyi di kolong tempat tidurnya, sampai orang-orang yang tadi
memenuhi lantai dua rumahnya turun ke bawah.
Ketika tahu orang-orang itu turun, Dylan
segera ke tangga untuk mengetahui orang-orang itu. Ada lima orang, dan Dylan
dapat mengingat wajah kelimanya dengan baik. Saat mereka sudah pergi dari
rumahnya, Dylan berjalan ke kamar Ayah dan Ibunya. Lutut Dylan lemas seketika
melihat keadaan kedua orang tuanya. Ayah dan Ibu Dylan ditusuk tepat di bagian
paru-paru. Dylan tak kuasa menahan air matanya.
“Jadi
adik ini anak Bapak Bima yang baru diadopsi empat jam sebelum perampokan?”
Dylan mengangguk.
“Adik sama sekali tidak mengetahui bahkan manandai
wajah si pelaku?”
Dylan terdiam sejenak. Dialah yang harus
membalas perbuatan lima orang brengsek yang telah mengambil keluarga barunya, bukan
polisi. Lima orang itu juga harus mati di tangannya.
“Ya, saya sama sekali tidak melihat satu pun
wajah perampok itu.”
*
“...Lalu
ayahku mewarisi perusahaannya untukku. Setelah aku selidiki, ternyata lima
orang itu adalah saingan berat perusahaan ayahku. Dan untuk memberi kesan kalau
keluarga Bima sudah tamat, aku membangun perusahaan itu dari nol. Setelah
itu... kau sudah tahu kelanjutannya.”
“Ya, aku tahu. Kau membunuh mereka, dan yang
menyakitkan, salah satunya adalah ayahku.”
Dylan menghela napasnya.
“Hei, ayolah. Apa penjara enam tahun tidak
cukup untukmu? Apa aku harus dihukum gantung agar parasaan menyesal tidak
menggerogotiku terus, ha?”
Alexis tersenyum getir. “Mungkin aku manusia
paling mulia yang memaafkan orang yang membunuh ayahku.”
“Harusnya aku juga menjadi orang yang lebih
mulia, karena membiarkan anak dari orang yang membunuh keluarga baruku masih
bisa bernapas.” Sahut Dylan pedas.
Alexis terdiam. “Ya. Aku rasa aku juga akan
melakukan hal yang sama jika aku di posisimu.” Alexis mengangguk-angguk. “Tapi
yang kuherankan, kenapa kau menyesal telah membunuh ayahku? Sedangkan untuk
keempat orang lainnya kau hiraukan begitu saja.”
“Karena kau,” jawab Dylan singkat.
“Dylan! Waktumu habis, kembalilah ke sel.
Sekarang juga!” Seru seorang penjaga penjara.
“Beri aku satu menit!” Dylan mengalihkan
pandangannya ke arah Alexis. “Selama aku di penjara, kupercayakan perusahaanku
kepadamu. Tapi setelah aku keluar penjara...”
“Dylan!”
“Sebentar,” lalu Dylan berbisik di telinga
Alexis. “Setelah keluar penjara, kupercayakan hidupku padamu.”
namanya Dylan? kok sama-_- kemaren kemaren kamu juga pake nama Raina._. apa aku harus ganti nama lagi:| *comment macam apa ini*
ReplyDeleteoh ya? hehehe maap ya._.v abisnya aku suka nama Dylan karne nonton Dylan Dog itu.. hehehe
Delete