Tuhan Tahu Yang Terbaik




            “Ma, Adek mau pergi sama Mama aja, Adek enggak mau di rumah,” rengek Nida.
“Sayang, Mama sebentar aja kok, kamu main aja ya sama Mas Cahya.” Bujuk Mama.
Nida memandang mamanya, matanya mulai berair. “Engaaak mau, Ma! Mas Cahya jahat, ntar kalo Mas Cahya main sama temennya, Nida enggak diperhatiin.” Seru Nida.
Tiba-tiba, seseorang mengecak-acak rambut Nida, Cahya.
“Iya, iya, maafin Mas Cahya ya, lagian hari ini Mas juga di rumah aja kok, mau main sama Nida aja,” ujar Cahya sambil mencubit pipi adiknya.
“Ih! Mas Cahya genit!” Nida mengusap-usap pipinya yang dicubit Cahya tadi.
Mendengar ucapan Nida, Cahya menggaruk kepalanya. Pasalnya, Nida baru kelas satu SD sudah tahu kata genit. Baru saja ia ingin menanyakan dari mana kata itu didapat Nida, Mama sudah mendahuluinya.
“Nida, kamu tau kata genit dari siapa, Sayang?”

“Dari Kak Laila, Ma. Kak Laila sering bilang gitu sama Mas Cahya.” Ujar Nida polos.
Mama Cuma menatap Cahya yang kelihatan salah tingkah. “Anak Mama sudah besar ternyata.” Ucapnya. Cahya hanya nyengir dengan mimik yang berubah-ubah, terkadang melirik Nida yang terbengong dengan Mama dan Masnya.
“Ya sudah, Mama berangkat dulu, jagain Nida, ya Mas Cahyaa. Jangan main terus sama Laila.” Ujar Mama seraya mengedipkan sebelah matanya kepada Cahya dan mengecup pipi Nida. Cahya mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Hati-hati, Ma. Jangan ngebut, di luar hujan deres banget lho.” Pesan Cahya.
***
            “Mas.. Mas Cahya, bangun Mas! Di depan ada yang ngetuk-ngetuk pintu. Adek takut...”  Nida menggoyang-goyangkan tubuh Cahya. Cahya terpaksa membuka matanya.
“Kenapa Nida? Kan ada Mas Cahya di sini..”
“Itu Mas, ada yang ngetuk pintu rumah kita,”
Dengan malas, Cahya duduk di tempat tidurnya. “Jam dua belas malem, siapa yang dateng? Mama kan udah bawa kunci cadangan..”
Nida hanya menaikkan bahunya menanggapi Cahya. Cahya menghela napas panjang, beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas menuju pintu rumah.
Sebelum membukakan pintu, Cahya sengaja mengintip dari jendela, ternyata ia melihat teman kantor Mama, Tante Mora, yang mengetuk-ngetuk pintu rumah mereka berulang-ulang. Cahya segera membukakan pintu.
“Tante Mora? Ada apa?” tanya Cahya to the point.
Tanpa menjawab pertanyaan Cahya, Tante Mora menarik Cahya dan Nida ke pelukannya sambil menangis terisak.
“Kalian yang sabar, ya. Mama itu sayaaaang banget sama kalian.” Kata Tante Mora di sela-sela isak tangisnya.
Merasa ada yang tak beres, Cahya melepaskan diri dari pelukan Tante Mora.
“Tante, sebenarnya ini ada apa?” tanya Cahya lagi.
Tante Mora masih terisak, ia mengatur nafasnya sambil menggendong Nida yang sudah mengantuk.
“Tadi, perjalanan mau ke kantor di jalan deres banget, kan? Nah, pandangan Mama kalian kayaknya juga jadi kurang jelas karena hujannya itu...” Tante Mora sengaja menjeda kata-katanya.
“... Dan tanpa sepengetahuan Mama kalian, mobil Mama kalian sudah lewat dari jalan utama, akibatnya mobil Mama kalian masuk jurang dan Mama kalian... tidak bisa terselamatkan.”
Cahya terdiam, menunuduk, mencerna kronologi yang diceritakan Tante Mora kepadanya. Terlalu sulit, bagaimanapun ia mencerna, tetap bagian akhir cerita kalau ‘Mamanya tak terselamatkan’. Cahya memandang Tante Mora syahdu, lalu melihat Nida yang sudah tertidur pulas di punggung Tante Mora.
“Aku mau nelpon Papa, Tante jaga Nida sebentar, ya,” Cahya berlalu dari hadapan Tante Mora.
Cahya mengangkat gagang telepon, memencet tombol-tombol yang ada. Sungguh ia tak tahu apa yang ia akan katakan pada Papanya, ia Cuma berharap, Papanya segera pulang untuk menjelaskan padanya bagaimana ia  bisa hidup tanpa Mama.
“Halo, Assalamuallaikaum, Pa...”
Cahya mentutup gagang teleponnya. Papa menangis, dan Cahya tidak. Bukankah kata Mas Gilar yang namanya laki-laki itu tidak boleh menangis.. Oh iya,  Mas Gilar! Cahya mengangkat gagang teleponnya lagi, menelepon Mas Gilar, kakak sulungnya yang berkuliah di luar kota.
            Untuk kedua kalinya, Cahya menutup gagang telepon, ekspresi yang didengarnya dari Papa dan Mas Gilar berbeda serratus delapan puluh derajat, Mas Gilar tak menangis, ia terdengar masih tenang seperti biasa. Bahkan Mas Gilar sempat memberikan petunjuk bagaimana Cahya harus mengurusi jenazah Mama mereka ketika Papa dan Gilar belum sampai di rumah.
“Ayo Cahya, kita harus jemput Mama segera.” Tante Mora menyentuh punggung Cahya lembut. Cahya mengangguk, mengikuti Tante Mora, sesekali melihat Nida yang masih tertidur pulas di punggung Tante Mora.
***
            Cahya masih tekun membaca Surah Yasin sambil terbata-bata, Nenek dan Kakek dari Mama dan Papanya sudah datang, tapi ia menunggu Papa dan Mas Gilar yang belum kelihatan batang hidungnya. Ia mengelus rambut Nida yang kini tertidur di pangkuannya, entahlah, Nida tahu arti kematian atau tidak, saat diberitahu kalau Mamanya sudah meninggal, Nida hanya berkata “Mama lagi tidur kok, besok juga bangun lagi.” dengan polos. Tiba-tiba kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing! Telepon rumah mereka berbunyi, memecahkan keheningan, Cahya memindahkan Nida ke pangkuan Neneknya, dan bergegas mengangkat telepon.
Cahya terpaku tanpa menutup gagang teleponnya. Kakeknya sudah merasa ada ‘sesuatu’ , segera bertanya kepada cucucnya.
“Papa meninggal, pesawatanya jatuh, dua jam lagi jenazahnya sampe sini.” Jawab Cahya datar tanpa menghindahkan kata-kata yang ia luncurkan.
Seketika suara tangisan pun pecah, sedangkan Cahya masih terdiam di tempat yang sama, Sebenarnya ia tak snggup lagi untuk tidak menangis, tapi ia sudah berjanji pada Mas Gilar kalau ia tidak akan menangis, karena ia laki-laki.
            “Kamu boleh menangis...” ujar seseorang kapada Cahya.
“Ini terlalu berat untuk siapapun yang menerimanya, hingga menangis adalah hal yang sangat wajar dilakukan” ujar orang itu lagi.
Cahya sangat mengenal suara orang ini, orang yang melarangnya menangis, dan sekarang orang yang menyuruhnya menangis, Gilar. Cahya segera memeluk erat Gilar, masih belum menangis. Gilar sedikit menundukkan wajahnya melihat adik laki-laki satu-satunya.
“Kamu boleh menangis, Cahya.”
Cahya memandangi wajah Gilar lekat-lekat, satu detik, dua detik, tiga detik, akhirnya mata Cahya tergenang air. Gilar tersenyum.
***
            Sebulan sudah terlewati Gilar, Cahya dan Nida hidup tanpa oarangtua. Tak ada yang mengeluh, mereka memang sudah terbiasa hidup mandiri, tentu saja kecuali Nida. Kini Nida sudah mengerti, setelah diberitahu berkali-kali oleh Gilar. Sebagai pelampiasan, Nida pun menjadi sangat manja kepada kedua kakak laki-lakinya.
            Hari ini Gilar berencana ke Rumah Sakit, ia merasakan tak enak badan sejak lama, tapi karena terlalu sibuk mengurusi keluarganya yang sedang berkabung, rasa sakitnya hilang entah kemana. Dan setelah semuanya selesai, tubuh Gilar menjadi tak enak lagi. Kemarin ia sudah melakukan seluruh tes laboratorium, dan hari ini hasilnya bisa diambil.
“Muhammad Gilar,” suster mamanggil namanya.
“Ya.” Gilar pun menuju ruangan dokter untuk mengetahui hasil laboratoriumnya.
“Silakan masuk dan silakan duduk!” seru Dokter.
“Ya Dok, terimakasih, jadi bagaimana?” tanya Gilar.
Dokter merubah rona wajahnya, ia menimang-nimang kertas hasil laboratorium Gilar.
“Apa sebelumnya Anda sudah tau, kalau Anda mengidap kanker paru-paru?”
Gilar terkejut, “Ti, tidak Dok, selama ini saya rasa saya baik-baik saja.”
Dokter menghela napas panjang, “Menurut hasil laboratorium, Anda positif terkena kanker paru-paru stadium akhir, parah, parah sekali, karena penyakit itu cepat sekali ditambah lagi ternyata belum ada pengobatan dari Anda, benar?”
Gilar mengangguk, ia memang pernah beberapa kali merasakan sakit, tapi ia kira itu hanya sakit biasa, ia tak tahu kalau separah ini jadinya, tanpa sadar air matanya pun berlinang.
“Jadi, apa masih ada harapan, Dok?”
Dokter terdiam lama, “Masih, jika Tuhan berkehendak, dan kami usahakan melakukan yang bisa kamu lakukan, tapi hasilnya kita hanya mengikuti takdir Tuhan.”
Tangisan Gilar semakin tak terbendung, kini dipikirannya hanya ada Nida dan Cahya.
“Dok, saya ingin menenangkan diri dulu, jika saya butuh bantuan Dokter, saya pasti kembali lagi.” Kata Gilar meninggalkan ruangan.
            “Mas Gilar baru nangis?” tanya Nida ketika Gilar baru saja masuk rumah.
Mendengar pertanyaan Nida, Cahya yang tadi sedang mononton televisi juga menghampiri Gilar.
“Mas Gilar nangis?” tanyanya tak percaya.
Gilar tersenyum ramah. “Mas Gilar enggak nangis Nida, Cahya. Tadi di jalan Mas Gilar kelilipan, jadinya kayak abis nangis gini deh matanya.” Jawab Gilar berbohong.
Mulut Nida dan Cahya hanya ber ‘o’ ria. “Eh, Mas Gilar sore ini mau balik Bandung, ya?” tanya Cahya.
“Oh itu, iya, Mas Gilar mau ke sana, mau ngurusin pindahan, biar Mas Gilar bisa nemenin kalian di sini. Mas Gilar enggak lama kok, paling Cuma dua atau tiga hari.”
Kedua adik Gilar pun mengangguk-angguk pengertian.
Jadilah sore itu Gilar berangkat ke Bandung. Sebenarnya ia sedikit gelisah tentang penyakitnya, tapi ia tak mau Cahya apalagi Nida tahu, Gilar yakin, itu hanya menambah beban mereka.
“Jaga Nida, ya.” Pesan Gilar pada Cahya.
“Daaaa Mas Gilar.” Nida melambaikan tangannya hingga Gilar tak terlihat dipandangannya.
***
            Telepon berdiring nyaring ketika Cahya dan Nida sedang asik menonton televisi.
“Haloo, Assalamuaallaikum..”
“Iya, ini Cahya adiknya Mas Gilar,”
“Mas Gilar meninggal? Inalillahi...”
Cahya menutup telepon, air matanya beruraian, ia berlari dan memeluk Nida.
“Nida, kita tinggal berdua. Mas Gilar sakit terus meninggal..” kata Cahya kepada Nida.
“Me, meninggal? Apa itu artinya Mas Gilar pergi, enggak balik-balik lagi, kayak Mama sama Papa?” isak tangis Nida mulai terdengar.
“Iyaa, kamu sabar ya. Masih ada Mas cahya kok, Mas Cahya di sini terus sama Nida.”
Nida tak bersuara, ia masih menangis, begitu juga Cahya. Beberapa jam Nida dan Cahya terlarut dalam suasana yang sama. Hingga air mata mereka tak bisa keluar lagi, mereka tak saling bicara, keduanya sibuk dalam pikiran masing-masing.
“Mas Cahya, kata Mas Gilar di setiap tangisan kita, di saat itu juga Tuhan udah mempersiapkan rahasia besar yang indah untuk kita, apa benar?” tanya Nida mencairkan suasana.
Cahya hanya mengangguk menanggapi Nida. Sebenarnya, ia marah pada Tuhan yang memberikannya beban begitu berat. Ia hanya anak berusia dua belas tahun yang belum sanggup hidup sendiri apalagi dengan Nida. Tuhan sudah mengambil Papa dan Mamanya, sekarang kenapa harus Mas Gilar?
“Terus, kata Mas Gilar, kita enggak bileh marah sama Tuhan karena mungkin ketentuannya ada yang baut kita sedih, karena Cuma Tuhan yang tau segalanya, Cuma Tuhan yang tau apa yang terbaik buat semuanya.”
Seperti tersindir, Cahya menatap Nida lekat-lekat. Lama sekali, ia memeluk Nida, menangis dan sambil beristighfar.
“Iya Nad, iya. Tuhan tau yang terbaik untuk kita.” Ucapnya lembut. 

Comments

Popular posts from this blog

SAYA DEAL DONE!

[CERPEN] Bagimu, Kita Hanyalah Dua Orang Asing

Sifat Penting yang Harus Dimiliki Pekerja: Gelas Kosong & Baby Eyes