Kenangan Bersama Air Mata Tuhan
Calista berjalan ke arah lapangan sepak bola yang dekat dengan
kompleks rumah barunya. Beberapa anak laki-laki terlihat berlari
kesana-kemari mengejar bola. Calista semakin dekat dengan lapangan dan
ia tak dapat menahan senyumannya saat ia berada di pinggir lapangan. Ia
tidak suka bermain bola, ia hanya suka mengamati anak-anak seusianya
bermain dan tertawa lepas—hal yang tak bisa dilakukannya. Mata Calista
tertuju pada seorang anak laki-laki yang memakai baju merah dan berambut
jabrik. Anak itu tertawa-tawa sambil berlari, kadang-kadang Calista
melihat bibir anak itu komat-kamit mengucapakan sesuatu, tapi Calista
tidak tahu apa yang diucapkannya.
Tiba-tiba Calista merasa
kepalanya dijatuhi sesuatu.Calista meraba kepalanya, basah. Calista
mendongakan kepalanya, lalu tetesan air mata Tuhan—menurutnya—jatuh
membasahi wajahnya. Calista tersadar sesuatu, kemudian ia melihat
anak-anak yang sedang bermain bola tadi. Masih ada beberapa anak yang
masih ‘asik’ bermain bola—termasuk anak berambut jabrik tadi—di tengah
guyuran hujan. Calista beranjak dari tempatnya sekarang berdiri untuk
mencari perlindungan. Lima menit kemudian Calista tengah berdiri bawah
pohon besar berdaun lebat yang teduh, tak jauh dari pinggir lapangan.
Calista meratapi titik-titik hujan yang terus turun ke bumi. “Tuhan,
jangan menangis..” gumamnya pelan.
Calista masih bisa
memperhatikan anak-anak yang bermain bola, kali ini ia hanya
memperhatikan satu wajah, wajah yang lebih ceria dari anak-anak lain.
Sambil terus menggiring—dan terkadang kehilangan—bola, Angga terus
memeperhatikan anak perempuan yang menurutnya seumuran dengannya.
“Aku pulang ya! Daaaa..” Angga keluar dari lapangan meninggalkan lapangan disusul dengan sorakan “uuuu” dari teman-temannya.
Sebenarnya Angga tak benar-benar ingin pulang, ia ingin menghampiri anak perempuan yang di bawah pohon tadi.
“Kau baru di perumahan ini?” kata Angga tepat di depan Calista.
Calista
tergugu, ia tahu anak berambut jabrik yang ada di hadapannya sedang
berbicara dengannya, tapi ia tidak dapat memahami kata-kata yang
dilontarkan kepadanya, gerak bibir anak berambut jabrik ini terlalu
cepat. Calista hanya diam memandangi anak lelaki yang ada dihadapannya.
Sedangkan Angga masih menunggu jawaban dari anak perempuan yang ada di hadapannya. Semenit kemudian Angga melihat blocknote yang tergantung di leher anak perempuan itu. Walaupun ragu-ragu, Angga menunjuk blocknote itu.
Ah, Calista baru menyadari blocknote ini
selalu tergantung di lehernya, untuk memudahkannya berkomunikasi dengan
orang, begitulah kata Ibunya. Calista langsung menulis di blocknote, “Apa yang kaukatakan tadi?” kemudian menyerahkannya kepada anak berambut jabrik.
Angga membaca dengan cermat kata-kata yang berjejer rapi itu. Lalu ia juga menuliskan sesuatu di sana. “Kau orang baru di perumahan ini? Siapa namamu?”
“Ya, aku baru pindah kemarin. Namaku Calista, kau?”
“Angga. Di mana rumahmu?”
Calista menunjuk rumahnya usai membaca tulisan tangan Angga.
“Rumah kita hanya berjarak dua rumah, ayo pulang bersama,” tulis Angga lagi.
Calista menggeleng, lalu menunjuk hujan yang masih sangat deras.
“Kau takut hujan?” tulis Angga lagi, ia tahu itu pertanyaan bodoh, tidak ada anak seumurannya yang takut dengan hujan.
Calista menggeleng, lalu ia menulis. “Aku tidak diperbolehkan hujan-hujanan oleh Ibuku, nanti aku sakit,”
Angga mengernyitkan kening, ia menulis lagi. “Selama ini aku tidak pernah sakit karena hujan, hujan itu menyenangkan, aku yakin kau pasti akan menyukainya, ayo lah,”
Calista
memandangi Angga yang tersenyum kepadanya sambil memain-mainkan
alisnya. Senyum Calista mengembang, kemudian ia mengangguk.
Angga meraih tangan Calista, membawa tubuh Calista ke derasnya air hujan.
Calista merasakan sensasi tubuhnya ditetesi berpuluh ‘air mata Tuhan’,
hal yang tak pernah ia lakukan selama hidup sepuluh tahun. Angga benar,
air hujan itu menyenangkan. Calista meloncat di air yang menggenang dan
menari-nari di tengah derasnya hujan, sedangkan Angga tak henti-hentinya
menertawakan perlakuan Calista. Angga berjanji dalam hati akan mengajak
Calista bermain dengan hujan lagi.
*
Angga
masuk ke dalam rumahnya, langkahnya terhenti melihat kedua orangtuanya
duduk di sofa ruang tamu. Ia memandangi kedua orang tuanya dengan seribu
tanda tanya.
“Kemarin kau bermain dengan siapa?” Ibu Angga mendahului pembicaraan.
“Aku? Dengan Calista, anak baru perumahan ini,”
Ayah Rama menghela napas. “Apa yang kalian lakukan?”
Angga
terdiam sejenak, perasaannya mendadak tak enak, tak pernah ayahnya
seserius ini menanyakan tentang teman-temannya. “Tidak ada, hanya
bermain hujan, ada apa, Yah?”
“Tadi orang tua Calista menelpon
Ibu. Calista itu sedang sakit parah, ia tidak boleh bermain, sedangkan
kemarin kau mengajaknya bermain dan sekarang penyakitnya kambuh.”
Tubuh
Angga mendadak lemas, rasa sesal mengerogoti hati dan seluruh
perasaannya. Ia tahu betapa buruk berita yang ia dengar saat ini. Buruk
untuknya karena ia tidak bisa menepati janjinya sendiri; mengajak
Calista bermain hujan lagi, dan buruk juga untuk Calista, karena
dirinyalah yang menyebabkan penyakit Calista kambuh.
*
Angga melihat ke rumah Calista. Sudah dua minggu ia melakukan hal yang
sama, tapi Calista tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Angga
pernah satu kali ke rumah Calista, tapi pembantunya mengatakan kalau
Calista sekarang pindah di luar negeri untuk mendapat pengobatan yang
lebih maksimal.
“Sebegitukah parahnya sakit Calista?” gumam Angga.
Ia merasa sangat bersalah dengan Calista, yang ingin ia lakukan saat
ini adalah meminta maaf dengan Calista dan orang tuanya.
*
Calista terus memperhatikan anak laki-laki yang sedang bermain bola
dari pinggir lapangan. Seorang anak laki-laki berambut jabrik yang
tertawa-tawa di tengah lapangan menari perhatiannya, membuatnya ingat
kepada seseorang, orang yang pertama kali mengajaknya merasakan betapa
menyenangkannya ‘air mata Tuhan’, orang yang membuatnya tergila-gila
pada hujan. Hati Calista bergejolak, bertanya-tanya apakah orang itu
masih mengingatnya dan apakah orang itu masih seantusias dulu
mengajaknya bermain hujan. Ah, sudah lama sekali. Perlahan
Calista merasakan tetesan air membasahi kepalanya, senyum Calista
mengembang, sesuatu yang ia kenang kini semakin terasa. Air hujan kini
mulai membasahi kepala dan seluruh tubuh Calista. Calista memejamkan
matanya, mengingat sosok anak lelaki berbaju merah dan berambut jabrik
delapan tahun silam. Di tengah rintikan hujan, rasanya kehadiran anak
lelaki itu semakin melekat dalam ingatan Calista.
Angga terus memeperhatikan gerak-gerik wanita yang sedang berdiri di
pinggir lapangan itu. Rasanya Angga mengenal wanita itu, namun Angga
takut, takut jika ini hanya khayalannya saja. Takut, jika ia menghampiri
wanita itu, dia bukanlah orang yang Angga harapkan. Namun semakin lama
Angga memperhatikan wanita itu, semakin yakin pulalah dia kalau itu
adalah Calista. Wanita yang selalu ia harapkan kehadirannya. Tiba-tiba
Angga tersadar, rintikan hujan sudah membasahi hampir seluruh kepalanya,
ia tersenyum tipis, ia masih dan selalu menyukai hujan, hujan selalu
dapat membawa kedamaian ke dalam hatinya.
Ketika Angga ‘asik’
menikmati hujan, ia tersentak, matanya langsung tertuju pada wanita yang
berdiri di lapangan tadi. Ternyata wanita itu masih berdiri di pinggir
lapangan—dengan kepala mendongak dan mata tertutup—tapi justru itulah
yang Angga khawatirkan. Angga segera menghampiri wanita itu dan manarik
tangan wanita itu ke bawah pohon besar berdaun lebat yang teduh. Angga
memeperhatikan sesuatu yang menggantung di leher wanita itu, blocknote. Angga tersenyum kepada Calista.
Calista memandangi wajah seorang pria yang ada di hadapannya dengan
bingung. Calista tak pernah melihat wajah pria ini sebelumnya. Calista
menulis di blocknote yang masih tergantung di lehernya. “Kau siapa?”
Pria yang ada di hadapan Calista menyeringai, lalu menulis di blocknote milik Calista. “Ingat seseorang yang mengajakmu bermain hujan hingga penyakitmu kambuh?”
Kini
wajah bingung Calista berubah menjadi berseri-seri, menatap Angga
dengan tatapan tak percaya, semenit kemudian wajahnya berubah menjadi
kusut dan menatap Angga dengan tatapan kesal. Angga mengernyitkan kening
melihat perubahan air muka Calista, lalu ia menulis lagi. “Ada apa?”
“Kau sudah tidak menyukai hujan? Kenapa kau tidak bermain dengan hujan?”
“Aku takut—“ belum selesai Angga menuntaskan kalimatnya, Calista sudah merebut blocknote itu dari tangannya.
“Aku sudah sembuh. SEMBUH. Jadi, kau mau mengobrol atau bermain dengan hujan saat ini?”
Senyum
Angga mengembang, ia menarik tangan Calista ke tengah-tengah hujan.
Angga dan Calista menari-nari di tengah hujan sambil tertawa-tawa, tak
perduli dengan pandangan orang-orang yang seolah-olah berkata, “Sedang apa wanita dan pria dewasa itu bermain hujan? Kekanak-kanakan.”
Angga
dan Calista hanya merasakan perasaan sederhana saat mereka bertemu dan
saat mereka bermain hujan, perasaan yang tak terganti oleh apapun,
perasaan yang hanya dapat dirasakan jika ada mereka berdua dan hujan,
perasaan yang beranama bahagia.
Comments
Post a Comment