Change
Aku
kehilangan seseorang. Bukan. Bukan dia yang pergi dariku. Tapi aku. Aku yang sengaja
menghilangkan dia dari hidupku. Alasannya sederhana dan umum. Dia sudah
mempunyai ‘orang lain’. Orang yang dikenalnya lebih dulu. Orang yang selalu
memberi motivasi kepadanya, seperti dia yang selalu memberi motivasi kepadaku.
Orang yang—semoga—selalu tersenyum kepadanya, sama seperti dia yang juga selalu
tersenyum kepadaku.
Perbedaan memang tak berarti untuk sesuatu yang bernama cinta, setidaknya itulah yang sering
kubaca pada novel. Dan dari beribu cerita yang kubaca, saat si tokoh menyayangi
kekasih orang lain, bagaimanapun, di akhir cerita si tokoh pasti akan
bahagia—begitu juga dengan orang yang disayanginya. Jika begitu, siapa yang
tidak ingin menjadi si tokoh? Namun, setelah perasaanku mendalam dan harapanku semakin
membesar, aku harus disadarkan oleh sesuatu. Hidup kita tidak akan pernah sama dengan kehidupan yang ada dalam novel
maupun cerita. Aku ditampar oleh pernyataan yang aku buat sendiri, pahit. Setelah
itu aku—mencoba—melupakannya. Tapi beberapa hari kemudian, aku harus rela
bersimpuh kembali dihadapnya. Kenapa? Karena aku masih saja berharap suatu hari
nanti kisahku akan menjadi bagian dari sebuah cerita yang berakhir dengan
bahagia. Lagi pula, dia sudah memberi—sedikit—celah untukku agar bisa merasakan
satu cerita bersamamu.
Jika kita menyayangi
dan mencintai seseorang, semakin lama kita akan merasa ‘ketergantungan’ pada
orang tersebut. Aku kecanduan. Rasanya hidupku tidak
akan lengkap tanpa berhubungan dengannya sehari saja. Minimal melihat fotonya
dari handphone-ku, hasil diam-diam memotretnya. Namun, di
keadaanku yang sedang kecanduan itu, aku kembali ditampar dengan kenyataan yang
buruk. Dia sudah punya orang lain. Lagi, aku menghempaskan harapanku untuk
melanjutkan kehidupan tanpanya. Berhari-hari aku berjalan tanpa melihatnya.
Semakin aku berjalan, semakin sesaklah dadaku dan semakin sulit pula aku
bernapas. Sampai akhirnya, dia menawarkan tabung oksigen kepadaku. Aku
menerimanya dan berharap semoga ia juga akan menawarkan cintanya kepadaku.
Beberapa
minggu yang lalu, aku sudah hanyut mengikuti arus yang terlalu deras. Hanyut
dalam buaiannya. Dan setelah aku hanyut, apa yang terjadi? Dia tidak
menolongku, tidak seperti saat aku membutuhkan oksigen untuk bernapas. Dia hanya
berkata. “Kau harus bisa. Dulu aku juga hanyut sepertimu. Tapi aku dapat
berenang ke tepian sendiri. Sulit memang, tapi kau harus bisa.” Lalu ia pergi.
Sedangkan aku? Aku terus hanyut sambil terus meratapi kepergiannya. Air mataku
bercampur dengan air laut, dan ketika ia menetes sampai ke bibirku, aku
merasakannya, hambar.
Kemudian
dia menyeretku ke tepian, menolongku lagi. Namun kali ini aku menolaknya. Aku
menepis uluran tangannya. Aku sudah sangat sadar kali ini. Ada yang harus
diubah. Dia tidak boleh lagi menyentuh hidupku, menggunakan jari kelingkingnya
sekalipun. Walaupun aku merasa sangat kehilangan dan aku merasa gila karena
perubahan yang kulakukan, tapi inilah hal paling benar yang harusnya kulakukan
sejak aku mengenal dirinya, menghilangkannya.
Walaupun aku merasa sangat kehilangan dan aku merasa gila karena perubahan yang kulakukan, tapi inilah hal paling benar yang harusnya kulakukan sejak aku mengenal dirinya, menghilangkannya.
ReplyDeletekenapa aku ngaku kalo aku gila? -_-
Delete