"Cinta adalah purba. Dia dimakan tahun, dihabisi oleh senja,
tetapi tetap saja bertahan untuk tak menua. Cinta adalah purba, tema itu-itu
saja yang terus mengabadi dalam cerita. Kau bisa menemukan cinta dalam cerita
paling tua, di tiap belahan bumi mana saja. Cinta seperti terserak dan setiap
orang memungutnya dengan bahagia. Dari dongeng naif Cinderella, kisah tak sudah
Rama dan Sita, hingga cerita panjang tentang Paris dan Helene dalam perang Troya, kau menemukan pemicu yang sama,
cinta. Mitologi dari seluruh dunia,
cerita rakyat dari seluruh pelosok-pelosok tak bernama, semua mengirimkan kisah
yang sama purbanya.
Namun, kau juga tahu
itu benar—yang dikatakan orang-orang—bahwa cinta tak melulu tentang langit biru
dan matahari yang teduh. Cinta bukan hanya gula-gula manis dalam mimpi
kanak-kanak. Dan, tak sekadar tentang berjalan
bersisian dengan hati berirama bersahutan. Cinta mampu menjelma gulita, sampai
kau merasa sesak karena tak bisa menebak arahnya. Dan, tentu saja, cinta sering
kali malah membuatmu menyesali akan keberadaannya. Cinta akan membuat hatimu
patah sehingga melihat warna saja kau akan merasa susah.
Lalu, bagaimana kau melewatkan hari saat cintamu tak juga
sampai? Saat hatimu memilih untuk terus patah? Apakah kau akan tetap memaksa
memiliki cintamu dengan cara apa pun? Mungkin, kau menginginkan dirimu menjelma
sebatang pohon, yang menyetia sepanjang musim, menunggu cintamu kembali untuk
sekadar menyapa. Seperti cinta, hati yang patah bisa juga membuatmu bergerak ke
segala arah, melakukan hal-hal yang selama ini tak pernah kau sangka.
Dan, hati yang patah, jantung yang berdebar dengan rasa nyeri
adalah paket yang kau terima saat kau berani untuk jatuh cinta. Patah hati seperti saat kau merasa
jantungmu berdetak dalam rasa nyeri, dengan kenangan yang menerormu setiap hari.
Dan, rindu yang ingin kau gerus karena terus memanipulasi hati. Namun, itu
risiko saat kau ingin bicara cinta, bukan?" - Gita Romadhona
Comments
Post a Comment