Berakhir Sampai Di Sini

Hari-hariku udah cukup semerawut dua minggu belakangan ini. Kuliah bisa dibilang nggak sukses. Kamar berantakan. Hidup nggak teratur. Nggak fokus, males-malesan, lupa caranya senyum yang tulus, lupa caranya membuat bahagia diri sendiri dan segala macam efek biasa patah hati lainnya yang buat hidupku kayak Zombie. Saking seringnya, aku sendiri hapal dengan hal-hal kayak gini dan yang terjadi selanjutnya, sesuai dengan hapalanku.

Kali ini sama seperti yang sebelum-sebelumnya. Awal bahagia. Akhir nangis darah. Entah harus berapa kali aku mengulang fase yang sama lagi.

Kenal – Deket – Suka – Jadian –  Dibikin bahagia – Dibikin bahagia banget – Dibikin bahagia sekali sampe cinta mati – Terjadi sesuatu yang tidak diinginkan – Memburuk – Makin parah – Didiemin, dibikin panik, dibikin bingung, dibikin nangis – Putus – Nangis gulung-gulung dikamar – Galau – Susah move on – dan akhirnya bisa move on karena dibikin bahagia sama orang lain. 

Sugesti A sampe Z untuk memperpendek waktu galau juga sudah aku hapal di luar kepala. Sugesti semacam, “bukan jodoh.”, “masih ada yang lebih baik”, “berterima kasihlah, setidaknya dia pernah menjadi bagian terindah dalam hidupmu,” nggak mempan buatku. Dan aku yakin, nggak mempan juga buat orang patah hati lainnya. Orang patah hati itu Cuma butuh satu: diajak balikan sama yang bikin dia patah hati. Tapi sayangnya itu nggak bakal terjadi, jadi sampai sekarang patah hati itu belum ada obatnya. Padahal kalau ada, aku pasti jadi pelanggan setia.

Perasaanku sekarang? Rasanya aku pengen lari, lari yang jauh terus ditabrak sama kereta. Terus koma beberapa bulan atau hilang ingatan dan sadar dengan keadaan seperti terlahir kembali. Intinya aku pengen semua ini cepat selesai. Aku pengen nggak ada nangis-nangisan. Nggak ada galau-galauan. Nggak ada mata bengkak. 

Capek, bro. Patah hati itu capek dan nggak enak. Makannya, terakhir kali aku patah hati aku bertekad untuk nggak akan patah hati lagi, caranya dengan hidup bahagia selamanya dengan pacar yang sekarang udah jadi mantan. Karena itu juga, aku berani buat mengenalkan dia sama bos besar. Mencampurkan dia dengan segala keputusan di hidupku. Dan menggantungkan semangat dan motivasi hidupku sama dia. Ketika dia pergi, semuanya ikut pergi. Semangat, motivasi, rasa percaya dan keyakinan yang dulu dia kasih ke aku juga ikut pergi dariku mengikuti tuannya. 

Aku nggak akan berterima kasih. Aku terlalu munafik untuk berterima kasih atas semua hal darinya yang selalu bisa membuatku bahagia. Untuk apa aku dibuat bahagia kalau pada akhirnya seperti ini? 

Aku nggak akan minta maaf.  Aku tidak perlu meminta maaf untuk segala sesuatu yang kulakukan untuk melindungi hatiku sendiri. Aku tidak perlu meminta maaf, karena bukan aku yang memilih untuk menyudahinya. Aku tidak perlu meminta maaf karena keinginanku hanya dia bisa berbagi bebannya padaku, tetapi dia memilih untuk memikul beban sendirian. 

Aku juga nggak akan membenci dan menyalahkan siapa-siapa, meski satu-satunya pertanyaan yang terlintas di kepalaku saat ini adalah, “Tuhan, kenapa harus begini?” Dan pertanyaan itu selalu kutanyakan dalam hati tanpa pernah kutahu jawabnya.

Dia beda. Iya. Satu-satunya yang seluruh keluargaku tahu tentangnya. Karena itu, luka yang ditinggalkan pun berbeda. Luka yang terlalu sakit dan terlalu membekas untuk sekedar diceritakan kembali pada siapa saja yang bertanya, “Kamu gimana sama dia?” Karena  dia satu-satunya bab yang ingin aku tutup dan tidak pernah kubuka lagi sampai kapan pun. Dan dia satu-satunya orang yang ingin tidak kuanggap pernah menjadi bagian dari hidupku. 

Comments

Popular posts from this blog

SAYA DEAL DONE!

[CERPEN] Bagimu, Kita Hanyalah Dua Orang Asing

Sifat Penting yang Harus Dimiliki Pekerja: Gelas Kosong & Baby Eyes