[CERPEN] Amara

“Sst… Gadis Hantu.” Clara menyentuh bahuku pelan, sambil menunjuk pintu masuk. Sedetik kemudian, mendadak seisi ruangan menjadi hening. Semua orang terpaku pada satu arah, Gadis Hantu. Gadis Hantu hanyalah sebuah julukan yang diberikan oleh anak-anak sekelas, nama sebenarnya adalah Amara. Amara dijuluki Gadis Hantu karena ia memang seperti hantu. Sejak awal masuk kuliah dua bulan lalu, Amara irit bicara. Bukan karena ia masih ja’im, seperti mahasiswa lainnya yang di awal pura-pura kalem, namun di akhir ceriwiws. Clara contohnya, di minggu-minggu pertama masuk, ia sangat kalem, anggun dan mempesona. Sehingga tak sedikit yang sering mencuri-curi pandang ke arahnya. Namun, itu hanya beberapa minggu. Sekarang, Clara justru menjadi gadis cerewet, suaranya nyaring bagaikan nyamuk yang berdenging tepat di telinga. Hal itu membuat kaum Adam malas berurusan dengannya, fyi saja, bagi lelaki cukup ibu saja yang bisa mencereweti kami, telinga kami tidak cukup kuat untuk menerima omelan dari wanita lain. 
Cukup tentang Clara, kini kembali pada Amara. Amara tentu saja berbeda dengan Clara. Dan semua anak sekelasku mengetahuinya. Ketika ia berjalan, awan hitam seolah turut berjalan di atasnya. Amara selalu memakai baju berwarna sendu. Rambutnya yang panjang selalu tergerai. Aku tidak pernah bisa melihat secara jelas wajahnya, karena rambutnya menutupi setengah wajahnya. Atau alasan lain, aku tidak cukup berani untuk menatapnya. 
Seperti biasa, Amara duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja dosen, tempat yang justru dihindari oleh mahasiswa mana pun. Jika hipotesisku tidak meleset, Amara sengaja menjaga jarak dari anak-anak sekelas. Seusai kuliah, Amara selalu langsung bangkit dari kursinya dan meninggalkan ruangan. Seperti itulah kesehariannya di dalam kelas. Di luar ruangan? Entahlah. 



*
Mungkin karena kemarin aku terlalu banyak membeberkan tentang Amara, hari ini aku sakit hinga tidak bisa masuk kuliah, namun bukan itu hubungannya dengan Amara. Hari ini aku flu berat, dan di sela-sela ketidakberdayaanku aku mendapat sms dari salah seorang teman sekelasku. Ia memberitahu bahwa untuk tugas akhir semester, aku satu kelompok dengan Amara. 
Aku pasrah. Siapa pun yang bernasib sepertiku tentu tak ada pilihan lain selain pasrah. Mau protes? Aku bukanlah anak SMA yang tidak mau teman sekelompok tugasnya kebetulan orang yang dibencinya. Lagi pula, aku tidak membenci Amara. Aku hanya merasa aneh padanya, begitu juga anak-anak lainnya.
Keesokan harinya aku masuk kuliah. Kalau bukan karena dosen ganas yang mewajibkan kehadiran seratus persen tanpa toleransi kecuali kematian, aku tidak akan susah-susah masuk hari ini, cuma satu mata kuliah pula. Aku mengusap-usap hidungku yang penuh dengan cairan, sesekali menyedot cairan kental itu ke dalam hidungku.

“Iiih Pras! Tisu nih…. Iyuuuuh sekalian kamar mandi aja gimana, sih? Jijik tauk! Hiyeek…” omel Clara. 

Aku menyambar tisu dari tangan Clara. “Iya iya… Kayak nggak pernah ingusan aja sih, huh!” sungutku, namun aku tetap bangkit dan menuruti kata-kata Clara.
Tepat di saat aku ingin menolak daun pintu, ternyata ada orang dari luar yang mendahuluiku membuka pintu. Napasku tertahan, mendapati Amara hanya beberapa senti di depanku. Kami bahkan berhadap-hadapan. Satu, dua, tiga detik, kami saling memandang. 
“Permisi.” 
Aku tersadar, kemudian menggeser tubuhku ke dalam agar Amara bisa lewat. Aku  bisa melihat pandangan anak-anak sekelas yang menatapku aneh. Di kepala mereka seolah-oleh bertanya, “Gimana rasanya bisa tatap-tatapan sama hantu?” Dan jika mereka benar menanyakan itu padaku, makan dengan lantang akan kujawab, “Jantungmu serasa merosot.” Karena memang itulah yang kurasakan saat bertatapan dengan Amara. Bibirnya kecil dan pucat. Hidungnya kecil, dan mancung. Matanya… ah, matanya. Ia memiliki bola mata cokelat tua yang jernih, namun pandangannya… Pandangannya dingin dan memelas. Aku tahu. Semua tahu. Sejak awal, Amara menyimpan sesuatu, sesuatu yang hanya diketahui dirinya sendiri. Sesuatu yang mungkin menyebabkannya menjadi ‘gadis hantu’. 
Mungkin karena aku terlalu banyak membaca buku dan menonton film yang berbau-bau detektif, jadi ketika melihat ada sesuatu yang mengganjal untukku rasanya harus kuketahui dan selidiki. Meski itu bukan siapa-siapa. 
Dan di sinilah aku sekarang, di depan rumah bertingkat dua berpagar abu-abu. Rumah paman Amara alias Pak Hariansyah alias dekan di fakultasku. Semua itu aku ketahui dari bagian kemahasiswaan, dengan alasan aku harus ke rumah Amara karena ada tugas yang harus diselesaikan.
“Amara? Yang keponakannya Pak Hariansyah itu?”
Siapa lagi yang bernama Amara tanpa embel-embel kalau bukan dia, simpulku. Aku pun mengangguk mantap agar tak mencurigakan. Setelah mendapat alamatnya, aku segera meluncur ke TKP. Bagian kemahasiswaan memberitahu bahwa Amara tinggal dengan pamannya. Mungkin dia anak luar kota, pikirku. 

Aku memantapkan langkah, kemudian memencet bel yang ada di pinggir pagar. Ketiga kalinya aku memencet bel, seorang wanita separuh baya yang kuingat adalah istrinya Pak Hariansyah. Aku pernah sekali bertemu dengan Beliau dan istrinya, karena itu aku inget dengan wanita yang keluar dari rumah bertingkat ini. Berarti dia adalah bibinya Amara.

“Siapa ya?” tanya bibi Amara waspada, belum mau membuka pagar.

“Saya Pras, eng… temennya Amara, Amaranya ada?” 

Wanita dihadapanku tak urung membukakan pagar, ia malah melihatku dari atas sampai bawah seolah mencari informasi lebih dari penampilanku.

“Temen apa?” 

“Temen kuliah…” 

Bibi Amara masih bergeming, aku tak bisa membaca jelas garis mukanya. Namun aku tahu, jelas ada sesuatu.

“Maaf ya, Dek… Tapi dengan keadaan Amara kayak gitu, rasanya mustahil dia bisa dapet temen.”

“Saya bener temennya. Saya kuliah di Universitas Prapanca, bahkan dekan saya, Pak Hariansyah itu suami ibu, kan? Amara kuliah di situ, kan? Kami satu kelas, jurusan HI. Saya ke sini mau… eng… mengerjakan tugas bersamanya. Memang kami belum buat janji, tapi…” 

“Kamu kerjakan saja tugasmu sendirian, nggak perlu bantuan Amara. Amara nggak bisa diharapkan, saya sendiri nggak yakin dia bisa bertahan lagi…” 

“Maksud ibu ap—?”

“Kamu tunggu di sini, kita akan lihat Amara.” Bibi Amara meninggalkanku, selang berapa menit kemudian dia sudah mengemudikan mobil, dan memintaku untuk mengikutinya.

Aku mengikuti mobil Honda City yang dikemudikan oleh bibinya Amara. Kira-kira 15 menit perjalanan, kami memasuki kompleks pemakaman umum dan bernhenti tepat di depan gerbang pemakaman. 

“Ayo sini!” 

Aku masih mengikuti bibi Amara. Pemakaman terpencil di sudut kota. Sepi. Dingin. Suram. Horor. Bulu kudukku berdiri, namun sepertinya tidak dengan wanita yang berjalan lima meter di hadapanku. Ia tampak terbiasa dengan keadaan seperti ini.

Dug. 

Langkahku terhenti, aku menabrak bibinya Amara.

“Eum.. Maaf, saya nggak…”

“Ssst… Liat, itu dia.” Tunjuk bibi Amara.

Aku tidak bisa menahan rasa terkejutku. Aku melihat Amara tertidur sambil memeluk sebuah gundukan tanah yang dia atasnya masih terdapat bunga-bunga segar.

“Udah empat bulan dia gitu, setiap hari, seminggu tujuh hari. Pulang kuliah dia selalu ke sini, nanti baru pulang kalo udah mau maghrib. Untung dia kuliah, mungkin kalo nggak kuliah dia bisa aja 24 jam di sana.” Jelas bibi Amara, raut wajahnya memancarkan kesedihan yang teramat.

Aku tidak tahu akan menanggapi seperti apa. Aku bahkan tak menyangka bahwa keadaannya seperti ini. Aku ingin bertanya lebih jauh, namun aku merasa ini bukanlah wilayahku untuk bertanya-tanya sekadar ingin tahu. 

“Dari dulu, Amara itu emang anaknya kalem. Ngomong seperlunya. Dia Cuma mau ngomong banyak sama kakak laki-laki satu-satunya, sama papa dan mamanya… Tapi empat bulan yang lalu, bertepatan dengan kelulusan dan hari ulang tahun Amara, kakak laki-lakinya meninggal karena overdosis. Pada hari itu juga, saat perjalanan ke rumah sakit, orang tuanya mengalami kecelakaan dan merenggut nyawa keduanya.” 

Napas kami berdua tertahan. Ini benar-benar di luar dugaanku.

“Semua keluarga tahu, hatinya Amara pasti hancur. Mungkin raganya masih ada, tapi jiwanya sudah mati. Dia menjalani hari sambil menunggu…” kalimat bibi Amara terhenti.

“Menunggu apa?” 

“Kematian.” Tandas bibi Amara.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

SAYA DEAL DONE!

[CERPEN] Bagimu, Kita Hanyalah Dua Orang Asing

Sifat Penting yang Harus Dimiliki Pekerja: Gelas Kosong & Baby Eyes