[CERPEN]Teman(?)

Aku memandangi arloji, seharusnya gadis itu sudah lewat di jalan ini sejak lima belas menit yang lalu. Dan aku merasa tidak salah hari. Gadis itu selalu lewat jalan ini setiap hari Rabu.

Mungkin dia sedang sakit atau apalah yang membuatnya tidak bisa lewat sini, pikirku putus asa, kemudian bersiap untuk meninggalkan tempat ini.

Baru saja aku menyertarter sepeda motor dan pergi dari kafe tempatku bekerja, aku melihat seorang gadis lari tergopoh. Senyumku terkembang. Ini dia. Rabu kali ini gadis itu memakai jaket warna biru tua. Tak lupa juga ia menyematkan earphone di telinganya. Ketika ia berlari, rambut ekor kudanya bergoyang ke kanan dan ke kiri. Pandanganku tak lepas dari setiap geriknya. Aku suka sekali dengan pemandangan yang kusaksikan saat ini.

Sebenarnya aku ingin sekali mengajaknya berkenalan, aku sudah memperhatikannya sejak dua bulan yang lalu. Tetapi, bagaimana cara berkenalan dengannya? Aku bisa disangka pemuda tidak benar jika aku menghampirinya dan berkata, “Hai, boleh kenalan nggak? Aku seneng ngeliat kamu. Aku merhatiin kamu setiap hari Rabu jam tiga sore, kamu pasti lewat sini. Ya kan? Ya kan?” Bisa-bisa yang ada aku tidak berkenalan dengannya, tetapi malah gadis itu trauma untuk lewat di depan kafe ini.

Aku mendengus.

Telepon genggamku bergetar lama, tanda ada panggilan masuk. Tanpa sempat kulihat nama penelepon, aku langsung mengangkat telepon tersebut.

“Ya, halo?”

“BURUAN MASUK KELAS! HARI INI KITA PRESENTASI!!”



Aku menjauhkan telepon genggam dari telingaku, dan kulihat nama Nessa di sana.

“Iya, ini juga udah nyertarter motor.”

“NUNGGUIN CEWEK ITU LAGI? HM?”

“Dia telat…” aku coba membela diri, walaupun aku tahu itu tak berarti.

“BODO!”


Nessa memutus sambungan telepon. Aku melihat jalanan, gadis itu sudah tidak ada.

Cepat juga larinya.

Tanpa membuang waktu, aku segera melajukan motor keluar dari parkiran kafe. Aku harus sampai kampus sebelum giliranku dan Nessa presentasi, kalau tidak bukan nilaiku saja yang akan menjadi D, tetapi aku juga akan diamuk oleh Nessa, diamuk oleh Nessa lebih mengerikan dari apa pun hal mengerikan di dunia ini.

Sejak aku bekerja, aku memang jadi sering terlambat masuk kelas. Hal ini dikarenakan pekerjaanku selesai bersamaaan dengan jam masuk kuliah, sedangkan perjalanan dari tempat kerja ke kampusku menghabiskan waktu paling cepat 15 menit.

Tetapi bukan itu saja yang membuat aku terlambat masuk kelas. Pada hari pertama bekerja, ketika akan bersiap untuk beranjak dari parkiran aku melihat seorang gadis menggunakan setelan olahraga berjalan santai di hadapanku. Dia mengenakan celana training pendek dan mengenakan jumper berwarna merah marun. Dengan rambutnya diikat ekor kuda dan earphone yang tersemat di telinganya.

Ini bukan pertama kalinya aku menyukai seorang gadis pada pandangan pertama. Sebelumnya aku pernah merasakan jatuh hati pada pandangan pertama pada seorang gadis dan aku berhasil mendapatkan hatinya. Tetapi, sepertinya kami memang tidak ditakdirkan untuk berjodoh. Dia pergi. Pergi jauh sekali.

“WOI SETAN! NAIK MOTOR YANG BENER!”

Lamunanku buyar, dan mendapati aku sudah ada di jalur yang berlawanan. Aku langsung ke jalur yang seharusnya dan mempercepat laju sepeda motor.

Sesampainya di kelas, aku melihat Nessa memandangku tajam, matanya mengikuti sejak aku masih berada di depan pintu. Tetapi, aku hanya membalas tatapannya dengan cengiran.

Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya. “Kita presentasi kapan?”

“Sekarang.” Nessa berdiri dari tempat duduknya. Aku mengikutinya ke depan ruangan kelas, dan kami memulai presentasi.

“Mas, kamu hampir bikin kita dapet nilai E tau nggak?!” Nessa masih saja mengomel perihal keterlambatanku tadi. Padahal omelannya tidak berguna, karena aku hadir sebelum kelompok kami presentasi.

“Ya udah sih, nggak usah ngomel mulu. Yang penting kan kita nggak dapet nilai E.”

“Tapi tetep aja! Kamu bikin panik.” Gerutunya.

Aku mengalah. “Ya maaf deh.”

“Bakso dulu.” Senyum Nessa mengembang, matanya berbinar-binar menatapku.

“Bilang aja kamu emang pengen bakso nggak pake bayar, huh.” Aku menjitak kepalanya.

Lalu kami berdua memesan bakso.

Sambil menikmati bakso masing-masing, kami mengobrol. “Mas, gimana?”

“Apanya yang gimana?”

“Cewek yang buat kamu telat, udah kenalan?”

Aku pura-pura tersedak, lalu menggeleng-geleng.

“Yah, kok belom, sih?” Nessa memajukan bibirnya, menatap kecewa ke arahku.

“Kamu pikir ngajak kenalan cewek di tengah jalan itu gampang?”

Nessa tidak menanggapi kata-kataku, ia melanjutkan makan baksonya dengan khusyuk. Setelah ia menandaskan potongan baksonya yang terakhir, ia baru berbicara.

“Minggu depan kamu harus kenalan sama dia.”

“Caranya?”

Nessa menepuk-nepukkan dadanya. “Tenaang, ada madam Nessa…”

Aku menaikkan satu alisku. “Serius? Kamu mau bantuin?”

“Iye, aku seneng akhirnya kamu bisa suka sama cewek lagi setelah…” Nessa melirikku. “Dua tahun Tania nggak ada.”

Nessa menghela napas. Dia tahu, topik tentang Tania adalah topik yang tak pernah ingin kubicarakan pada siapapun, termasuk dengannya. Terpaksa menerima kenyataan bahwa ketika aku terbiasa dengan kehadiran Tania di hidupku, namun tanpa peringatan dia menghilang begitu saja seperti debu yang ditiup angin terkadang membuatku tak henti-hentinya menyalahkan Tuhan.

Untuk sepersekian detik, aku dan Nessa tak saling bicara.

“Aku kangen Tania.” Nessa memecah keheningan di antara kami.

“Aku juga. Selalu.” Gumamku. Rasa sesak itu masih ada.

Kemudian Nessa mengusap-usap pundakku. “Dia juga pasti kangen sama kamu.”

         *
Seminggu kemudian Nessa menepati janjinya. Ia bahkan rela bolos kuliah untuk membantuku berkenalan dengan gadis berambut ekor kuda itu.

“Mana nih? Udah mau jam tiga.” Nessa mulai tak sabar. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, sesekali menyeruput ice lemon tea yang dipesannya. Nessa terus mengawasi jalan.

“Sabar, Ness… Dia munculnya itu mepet-mepet jam tiga.” Pekerjaanku sudah selesai, jadi aku bisa bersantai dan melakukan hal yang sama dengan Nessa—mengawasi jalan dari dalam kafe.

Gadis yang kami nantikan akhirnya muncul. “Ness, yang itu.”

Aku ingin memberitahu Nessa, tapi baru kusadari Nassa sudah tidak ada di sampingku. Aku mengalihkan pandangan, ternyata Nessa sedang bersama gadis itu. Melihat Nessa berbicara dengannya membuat jantungku melorot. Mereka berdua tengah berbincang, sesekali kulihat keduanya tersenyum dan tertawa. Dan yang membuat seluruh tubuhku melemas adalah ketika gadis itu menoleh kemudian tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumannya dengan kaku.

Aku melihat Nessa dan gadis itu masih berbincang-bincang, tak lama dari itu mereka saling melambaikan tangan dan gadis itu melanjutkan lari kecilnya. Aku tidak bisa mengira-ngira obrolan Nessa dengan gadis itu. Tetapi aku ingin sekali mengetahuinya.

Setelah gadis itu berada cukup jauh, aku setengah berlari menghampiri Nessa.

“Dia mau kenalan sama kamu, tapi nggak sekarang, soalnya dia mau latihan basket.”

Aku mencerna kata-kata Nessa. Mau tak mau senyumku mengembang.

“Nomernya udah aku kirim lewat sms…” Sambung Nessa. Perkataan selanjutnya tak dapat kudengar lagi, karena otakku sibuk menyusun rencana untuk malam ini. Malam aku akan mengenal seorang gadis yang—semoga—saja sudi menemani hari-hariku, selain Nessa tentu saja.

         *

Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Tetapi aku masih asyik ber-chatting ria dengannnya. Gadis berambut ekor kuda yang setiap hari rabu jam 3 sore lewat di depan kafe dan berhasil mencuri perhatianku sejak awal aku melihatnya itu bernama Nindy.

Nindy sangat menyenangkan. Dia bahkan lebih dari seperti yang kubayangkan. Dia berbeda dengan Tania, dari pesan yang kuterima darinya aku menyimpulkan bahwa Nindy adalah gadis tomboi, sederhana dan selera humornya yang mampu membuat obrolan kami mengalir tanpa terputus.

Tetapi Nindy memberikan kenyamanan yang sama dengan Tania. Nindy memberikan kenyamanan yang sama dengan cara yang berbeda. Tentu saja, tak yang menggantikan Tania, dia tetap mendapat tempat di hatiku.

         *

Tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan hati Nindy. Setelah satu bulan melakukan pendekatan, akhirnya aku resmi berpacaran dengan Nindy. Dan semua ini karena Nessa. Nessa dan Tania adalah teman sejak semester awal kuliah. Aku dekat dengan mereka karena aku menyukai Tania. Dan, yang membantuku melakukan pendekatan dengan Tania adalah Nessa.

Sebagai tanda rasa terima kasihku, aku mentraktir Nessa bakso. Bakso adalah makanan kesukaannya.

“Terus udah jadian, nih? Pantesan…” Nessa menyendok bakso yang sudah dipotongnya menjadi bagian kecil. “Jadi lupa sama aku.”

“Aku nggak lupa Ness. Kalo aku lupa, aku nggak mungkin traktir kamu bakso.” Sangkalku.

“Yaelah, dari sejak pendekatan sama Tania kamu traktirnya bakso terus. Tarifnya naik, dong.”

“Apa? Kamu mau aku bantu pedekate juga, sama siapa? Perasaan dari dulu jomblo mulu.”

Kunyahan Nessa terhenti. Ia membalikkan sendok dan garpunya, tanda acara makannya telah usai, padahal bakso dan mie di mangkoknya masih tersisa.

“Mas, aku…” Nessa menarik napas.

“Kamu?” Aku melihat wajah Nessa. Wajahnya terlihat cemas. Ia mengetuk-ketukan jarinya ke meja. Pertanda bahwa ia tak tenang.

“Kamu tau nggak? Kalo cowok sama cewek itu nggak bisa berhubungan murni karena pesrsahabatan.”

Aku menelan ludah. Aku tau pembicaraan Nessa mengarah ke mana.

“Sejak kapan?”

Ia mengigit-gigit bibirnya. “Sejak kita masuk kuliah. Sebelum aku tahu, kalau ternyata kamu naksir Tania…”

Setelah itu mengalir cerita Nessa. Bagaimana ia menyukaiku yang berawal dari cinta pandangan pertama saat ospek. Bagaimana ia diam-diam memperhatikanku dan semakin menyukaiku. Bagaimana rasanya kehilangan harapan setelah ia mengethui bahwa aku menyukai Tania, sahabatnya. Bagaimana hancurnya perasaannya ketika Tania meninggal dan melihatku sedih karena kehilangan Tania.

“Ness, kenapa kamu nggak bilang dari dulu, setelah Tania nggak ada?”

“Terlalu berisiko, Mas. Kalo aku cerita ini, aku takut kamu bisa suka sama aku. Dan aku nggak mau, Mas, seolah-olah aku bersyukur dengan kepergian Tania terus bisa dapetin kamu.”

Sebenarnya aku sependapat dengan penjelasannya. Bukan tidak mungkin aku menyukainya. Selama ini, aku mengira Nessa tidak tertarik dengan serba-serbi cinta karena ia selalu fokus dengan kuliahnya. Selama ini pun aku tidak cukup peka untuk menyadari sebegitu perhatiannya Nessa padaku. Sedangkan aku tak pernah tahu apa pun tentangnya, selain makanan kesukannya.

Ah, sahabat macam apa aku ini!

“Ya udah sih, Mas. Yang penting sekarang kamu udah bahagia, kamu nggak perlu merasa bersalah atau nggak enak. Bagiku, jadi sahabat kamu itu udah cukup.”

Ada kelegaan luar biasa yang menyergap hatiku. Rasa hangat menjalari sekujur tubuhku ketika mendengar kata-katanya. Namun tetap saja, ini perasaan orang! Rasa lega berganti dengan rasa bersalah. Aku tahu berat menjadi seorang Nessa. Dan semuanya karenaku. “Maaf, Ness.” Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain meminta maaf.

Nessa mengibas-ngibaskan tangan. “Asssh! Santai aja, Mas. Tapi kalo emang kamu mau minta maaf banget,” matanya menatapku jenaka, “kamu boleh traktir aku bakso lagi.”

Aku melotot ke arahnya. Tetapi Nessa masih memasang wajah jenakanya, membuatku mau tak mau tersenyum. “Ah, kamu sih, yang bahagia buat kamu itu cuma bakso!” gerutuku.



- ZAS
  Surakarta, 04 Juni 2015

Comments

Popular posts from this blog

SAYA DEAL DONE!

[CERPEN] Bagimu, Kita Hanyalah Dua Orang Asing

Sifat Penting yang Harus Dimiliki Pekerja: Gelas Kosong & Baby Eyes