Cerita Si Telepon Genggam

Ekspresi Shinta berubah menjadi cerah ketika aku berbunyi. Dengan agak tergesa-gesa ia menyambarku. Lalu, menatapku sambil tersenyum. 
"Halo..."
Dan percakapan panjang pun dimulai, seperti biasa. Aku bisa mendengar semuanya. Suaranya maupun suara orang yang diseberang sana. Mereka saling melontarkan kata-kata romantis.
Tak ada nada sedih dari keduanya. lalu, menit pun berganti jam. Mereka terus melakukan hal yang sama. Tapi, sebenarnya aku sudah tidak sanggup. Badanku sudah panas dan tenagaku pun sudah melemah. Aku rasa sebentar lagi aku akan tertidur. Aku sudah mencoba memberitahu Shinta beberapa kali. Tapi Shinta masih saja menikmati obrolannya yang hampir setiap hari dilakukan. Hampir saja aku tertidur, Shinta menyudahi komunikasinya dengan laki-laki yang disebut Shinta bernama Nicky. Shinta menantapku lagi, masih tersenyum, tapi aku yakin bukan untukku.  Shinta tersenyum untuk Nicky. Aku tahu. Sudah lama sekali mereka berpacaran. Aku ingat. Saat itu tiba-tiba aku berbunyi singkat, lalu, Shinta mengambilku dari sakunya. Sedikit mengernyitkan kening, karena ia hanya menerima pesan "Hai.." dari seseorang yang tak dikenalnya. Beberapa kali ia membalas pesan dari orang itu,  kemudian Shinta merubah nomor yang tertera berubah menjadi sebuah nama Nicky. Sejak itulah, rasanya setiap malam badanku terasa pegal-pegal karena Shinta terus menggunakanku sepanjang hari. Tiap jam ada saja pesan masuk dari orang yang bernama Nicky itu. Padahal sebelum Shinta berkomunikasi dengan orang itu, ia jarang sekali menjamahku. Setidaknya sebelum ia menghapus nama Dewa daftar nomor.

Dewa? Dewa itu.. Entahlah, beberapa bulan yang lalu, Shinta dan Dewa sempat saling berkirim pesan. Setidaknya dalam seminggu Dewa pasti mengirimkan pesan pada Shinta. Mengetahui pesan itu dari Dewa, Shinta langsung tersenyum lebar. Saat membalas pesan Dewa senyuman manisnya pun tak lepas dari wajahnya. Padahal pesan yang dikirmkan sangatlah tidak penting, bahkan lebih menjurus kepada ejekan dan hinaan terhadap Shinta. Anehnya, justru itulah yang selalu membuat Shinta tersenyum dan terkadang tertawa sambil memaki si pengirim pesan. Yang aku tahu, Shinta adalah orang yang tak suka menyimpan sms di inbox terlalu lama, tapi semua pesan dari Dewa tak satu pun yang ia hapus. Memang pernah beberapa kali, sambil mengeluarkan air mata ia menghapus pesan dari Dewa. Namun beberapa minggu kemudian Shinta kembali 'menimbun' kembali pesan-pesan dari Dewa. Hingga terhitung 12 bulan lamanya mereka terus begitu. Tak pernah ada kata romantis atau setidaknya kata pujian dari semua pesannya, tapi Dewa selalu mengirimkan pesan kepada Shinta. Sampai suatu hari, tiba-tiba Shinta menggenggamku erat, erat sekali. Air matanya mengalir deras mengalir ke pipinya dan dibiarkannya jatuh terurai. Aku takut sekali saat kulihat Shinta ingin melemparku ke lantai kramik kamarnya. Saat itu aku terus berharap semoga Shinta tak benar-benar melakukannya. Untunglah, Shinta tak jadi melemparku ke lantai. Ia hanya melemparku ke kasurnya yang empuk, masih terus menangis. Beberapa saat setelahnya, Shinta mengambilku, menghapus semua pesan Dewa yang saat itu mencapai 976 pesan. Lalu, menghapus namanya dari daftar nomor. Aku tak pernah melihatnya seperti itu. Seandainya aku bisa bergerak sesuai kehendakku sendiri, saat itu pasti aku akan menghiburnya lewat MP3 yang kumainkan. Seandainya aku punya tangan, pasti saat itu aku sudah menghapus air matanya. Tapi, aku hanya sebuah telepon genggam, yang berkerja di bawah kehendak manusia. Saat itu, aku sempat menyesal kenapa aku harus ada? Bila aku tak ada, mungkin Shinta tak akan seperti ini. Hanya seandainya, seandainya dan seandainya sajalah yang terus ku ucap dalam hati saat melihat Shinta menangis.

Comments

Popular posts from this blog

SAYA DEAL DONE!

[CERPEN] Bagimu, Kita Hanyalah Dua Orang Asing

Sifat Penting yang Harus Dimiliki Pekerja: Gelas Kosong & Baby Eyes