Memories
“Yah, diliatin doang.
Deketin dong!” Bryan berbisik di
telingaku.
Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya, tersenyum yang entah manis atau tidak jika dilihat dari mata seorang laki-laki.
“Enggak ah, Sayang. Kan ada kamu,” Aku merangkul Bryan yang kini menatapku dengan tatapan jijik.
“Sorry, Lang, gue bukan homo. Gue
masih suka sama yang mulus-mulus.” Jawab Bryan
ketus.
Aku tertawa disusul Bryan,
sampai tawaku akhirnya terhenti ketika melihat gadis manis
yang beberapa hari ini mencuri perhatianku menghilang dari pandanganku.
“Wah, dia hilang!” Mataku mencari ke penjuru taman sekolah.
Namun, aku tak dapat menemukannya.
“Yang mana, sih, Lang?” Bryan ikut mencari-cari meski ia belum tahu siapa
yang kucari.
“Ehm.. Lang,
kayaknya gue tahu deh siapa yang lo cari,” ujar Bryan
tiba-tiba.
“Mana-mana?” tanyaku bersemangat, mataku melihat ke arah
pandangan Bryan.
“Arah jam dua,”
Aku mengikuti komando Bryan, dan yang kulihat ternyata Pety, gadis gempal berkepang dua yang menjadi bahan olok-olokan satu sekolah.
“Pety!!!” suara Bryan
menggelegar. Mendengar namanya disebut, Pety menoleh.
“Pet, lo dicariin Galang, Pet! Kayaknya dia naksir deh sama
lo!” ujar Bryan lantang.
Pety menatapku tajam, dan aku hanya mengangkat tanganku
sambil mengeleng beberapa kali, kuharap Pety mengerti dengan isyarat “gue nggak
ikut-kutan” yang barusan kuberikan kepadanya. Kemudian Pety ganti menatap Bryan. “Ampun Pet, gue cuma bercanda kok, suer deh,”
Pety kemudian membuang mukanya dan melanjutkan perjalanan
tanpa berkata apa-apa.
“Kampret lo, Yan!” aku
menjitak kepala Bryan.
“Hehe sorry… Sekali doang, abisnya salah sendiri tu anak
semangka lewat di depan gue,” jawab Bryan
asal.
Aku tak dapat menahan tawaku, ketika mendengar Bryan menjuluki Pety dengan sebutan ‘anak semangka’.
Namun, tiba-tiba aku tersadar sesuatu.
“Gara-gara elo nih, Yan. Gue jadi nggak tau kemana perginya tu
cewek,”
“Emang cantik? Kelas berapa?”
Aku menjitak kepala Bryan
lagi. “Kalo gue tau kelasnya dimana, ngapain gue susah-susah nyari dia tadi?”
“Oh iya, hehe sorry sorry.. Anak baru?”
Aku menerawang. “Kayaknya sih iya, soalnya gue nggak pernah
liat dia,”
“Terus kenapa elo bilang ‘kayaknya’? Elo pernah ketemu sama
dia?”
Aku menelusuri ingatanku, tapi aku tidak dapat menemukan apa
yang kucari. “Kayaknya pernah, tapi nggak tahu dimana.”
Aku berhenti
di beberapa ratus meter dari rumahku, memberikan jeda untukku yang mengamati
seseorang berdiri di depan rumahku. Terlihat seorang gadis berseragam
sepertiku—putih abu-abu—menyandarkan punggungnya di pagar rumahku. Beberapa
menit aku terpaku melihatnya. Itu dia! Dia gadis yang beberapa hari ini
kuperhatikan. Aku langsung melajukan sepeda motorku mendekatinya. Gadis itu
terlihat sedikit terkejut ketika motor yang kukendarai berhenti tepat di
depannya.
“Ha… Hai..”
Aku turun dari sepeda motorku dan berdiri di hadapannya. Aku
memandanginya lama, tak tersadar olehku guratan tipis terbentuk dari bibirku.
Dadaku bergejolak, menari-nari, melihat gadis yang ada di hadapanku sekarang.
“Hai,” ulang gadis itu dengan suara agak ditekan. Aku
tersadar.
“Oh halo, sorry, kamu...”
“Aku
Naya, kamu Galang, kan?” Gadis itu
mengulurkan tangannya.
Aku terpaku. Naya. Namanya Naya
dan ia tahu namaku! Amazing!
“Galang?”
Cepat-cepat aku mengulurkan tanganku, tanganku dan tangan
Naya saling bertaut, dapat kurasakan tangan Naya yang dingin dan lembut.
“Ehm… aku pulang, ya. Dah, Galang.” Naya melepaskan
tangannya, kemudian berlalu dari hadapanku.
Aku mengangguk dan melihat tanganku yang baru bersalaman
dengannya. Dia memegang tanganku! Kami bersentuhan! Seketika aku menyadari
sesuatu, Naya! Aku berlari ke arah jalannya Naya tadi. Namun, aku tak dapat
menemukannya.
“Bego! Kenapa nggak dianterin pulang sih, Galaaaang?!” ujarku
sendiri. Masih tetap mencari-cari, aku pun kembai ke rumahku.
“Lho Mas Galang dari mana? Tadi Bi Yum denger suara motor, pas gerbangnya
dibuka, yang ada cuma motornya Mas Galang,” Suara Bi Yum terdengar khawatir.
“Dari depan Bi, tadi ngejer orang. Oh ya, Bi Yum
tadi liat ada cewek di depan sini nggak?”
Bi Yum menggeleng.
“Enggak Mas, kayaknya nggak ada siapa-sapa tuh dari tadi.”
“Oh, yaudah. Makasih ya Bi, aku mau ke dalam dulu.”
Aku menyalakan mesin sepeda motorku kemudian masuk ke dalam
garasi.
Naya memang
racun! Kalau tidak karena pertemuanku dengannya tadi siang yang membuatku
bertanya-tanya sampai sekarang, aku pasti sudah terlelap dari tadi. Aku melirik
jam yang terdapat di handphone-ku,
23:26. Aku harus tidur kalau tidak mau terlambat besok. Aku memejamkan mataku,
berharap rasa kantuk menghampiriku. Namun, bukannya mengantuk, aku malah
melihat wajah Naya di gelapnya mataku. Aku duduk di atas tempat tidurku,
berpikir kira-kira apa yang dapat membuatku tertidur. Tiba-tiba pikiranku
terbesit suatu ide sederhana, ide sederhana yang mungkin dapat mempertemukanku
dengan Naya lagi. Setelah menyetel alarm
jam 5 pagi, aku merebahkan badanku ke tempat tidur, dengan begini pikiranku
sudah tenang dan pasti aku akan mudah tertidur.
Kesokan
paginya, setelah memastikan aku murid pertama yang menginjak sekolah hari ini,
aku berdiri di depan gerbang sekolah. Ini rencanaku semalam. Semua murid yang
masuk sekolah pasti melewati gerbang—termasuk Naya—karena itu, aku akan menunggunya
di gerbang ini, dengan begitu aku akan bertemu dengannya lagi dan aku akan
bertanya kelas, alamat, facebook,
twitter, instagram, line, what’s up, dan semua sosial media yang ia punya.
Aku ingin selalu terhubung dengannya. Aku melirik jam tanganku, 07:00. Lima
belas menit lagi bel tanda masuk berbunyi, tapi Naya belum kelihatan batang
hidungnya.
“Elo ngapain, Lang? Nyari
wangsit?” Bryan menepuk-nepuk
pundakku.
“Gue lagi nungguin bidadari gue dong,”
Bryan mengernyitkan kening. “Cewek yang kemaren lo cari-cari itu?”
Aku mengangguk. “Elo harus tahu, Yan! Kemaren tu cewek ke
rumah gue, ternyata dia cantik banget kalo diliat dari deket, kayak bidadari
turun dari kayangan, Yan! Dan dia tahu
nama gue! Namanya bagus kayak orangnya, namanya… Hufftttt…”
Bryan membungkam mulutku. “Terserah elo deh, ya. Elo nggak usah
ngomong lagi, karena pagi ini gue lagi nggak minat denger orang ngomong selain
ngomong bahasa Biologi, karena pagi ini kita ulangan Biologi, inget nggak lo?”
Aku menelan ludah. Aku lupa hari ini ulangan Biologi. Naya, Naya…. Kamu racun banget sampe buat
aku lupa ada ulangan gini.
“Ikut ke kelas nggak, lo? Atau masih nunggu bidadari lo itu?”
Bryan berlalu dari hadapanku tanpa
menunggu jawabku.
Sebenarnya waktu lima belas menit cukup untukku belajar,
walaupun sedikit. Setidaknya nilaiku tidak nol, tapi Naya…
“Yan!”
Bryan menoleh.
“Gue pinjem buku biologi lo dong! Gue mau belajar sambil
nungguin dia! Lo pake buku gue, ya?”
Bryan menggeleng-geleng, kemudian ia merogoh tasnya dan
melemparkan buku kepadaku.
Aku membolak-balik buku catatan biologi Bryan,
tapi konsentrasiku buyar setiap ada orang yang melewati gerbang. Aku melirik
jam tanganku untuk kesekian kali, 07:14, masih ada satu menit. Aku menutup buku
Bryan dan memfokuskan mata ke gerbang
sekolah.
Treeeeng. Suara bel tanda masuk
berdering nyaring, aku masih di posisi yang sama. Perasaanku menjadi kacau
balau. Apa dia sakit? Kan kemarin
tangannya dingin banget.. Kayaknya emang beneran sakit deh, ih.. kenapa kemaren
nggak dianterin sih? Aku mengacak-acak rambutku.
“Galaaaang!!”
Aku menghentikan kegiatanku, ketika kudengar suara Bu Ratih,
guru BK yang galaknya ampun-ampunan memanggil namaku.
“Kamu nggak tahu bel udah berbunyi dari lima menit yang
lalu?! Kamu sengaja bolos, ya?”
“Eng.. enggak kok Bu!”
“Terus ngapain kamu masih di situ? Sana masuk kelas!”
“Iy.. iya Bu…”
Aku pun berjalan menuju kelas dengan gontai.
“Jalannya jangan kayak siput! Kamu itu laki-laki!” suara Bu Ratih sampai ke
telingaku, membuat bulu kudukku berdiri, sebegitu dahsyatnya suara Bu Ratih.
Aku mempercepat langkahku, setengah berlari. “Iya Bu!”
Aku tiba di
kelas dengan bersimbah keringat.
“Galang! Dari mana saja kamu? Cepat masuk, ulangan akan
segera dimulai.”
Deg. Ulangan! Aku tidak mempelajari apa-apa malam ini—dan pagi ini. Aku
berjalan ke tempat dudukku. Aku melirik Bryan,
kudapati ia terkekeh. “Awas lo!” ancamku.
“Galang! Kamu ini, sudah terlambat, masih aja berisik. Sekali
lagi kamu berulah, kamu tidak boleh ikut ulangan.”
Aku menatap Bryan
dan menunjukkan kepalan tanganku kepadanya. Bryan
menggeser kursinya mendekatiku. “Hehehe,
lo mau nonjok gue? Boleh, boleh… Tapi, siap-siap nilai ulangan lo jadi nol,
ya!”
“Apa sih lo, Yan?! Kok jadi ngancem balik?!”
“Galang! Kamu keluar kelas!”
Sial. Sial. Sial. Aku menatap Bryan,
kali ini ia melihatku dengan tatapan “Lang-maafin-gue”. Aku menghela napas, dan
berjalan keluar kelas.
Aku
mengaduk-aduk es teh. Naya. Nama itu kembali hadir di kepalaku. Kalau bukan
karena dia, aku tak akan sial pagi ini. Aku mulai merasa aku tidak ditakdirkan
dengannya, buktinya jelas, kesialanku pagi ini semua gara-gara dia. Padahal
gadis secantik dia… Aku berhenti berpikir ketika sudut mataku menangkap sosok
seseorang di sudut mataku. Kepalaku berputar sembilan puluh derajat, seketika
jantungku melompat saat aku melihat seseorang yang sedang duduk bangku paling
pojok kantin. Naya! Aku menghabiskan es tehku dan bergegas menghampiri Naya.
“Hai, Naya!” tanpa dipersilakan, aku duduk di depannya.
“Halo Galang. Kamu nggak masuk?”
“Enggak.. aku tadi.. eh, kamu kok pucat, Nay? Kamu sakit?”
tanyaku panik.
“Eng.. enggak kok, Lang. Aku
kayaknya cuma kedinginan deh,”
Kedinginan, ya?
Mataku mencari-cari seseorang yang kukenal yang mungkin bisa
kumintai tolong. Nah, itu dia! Aku berlari ke arah teman sekelasku waktu kelas
sepuluh.
“Marsha, gue pinjem
sweater lo dong. Besok gue kembaliin deh, gue laundry-in biar wangi, ya ya?”
Marsha menatapku sambil mengernyitkan kening. “Boleh sih, emang
buat apa?”
“Buat…” Kalimatku terhenti, tadinya aku ingin menunjuk Naya,
tapi Naya menghilang! Baru saja aku ingin bertanya lagi pada Marsha, Marsha
juga menghilang.
“Naya! Naay!” Aku memanggil-manggil nama Naya. Namun,
panggilanku tak kunjung dibalas. Beberapa menit aku memanggil-manggil Naya,
tapi tak ada hasil apa pun yang kudapat. Aku pun menyerah. Aku kembali ke kelas
karena ujian biologi sudah berlalu dan berganti dengan pelajaran lain.
Pikiranku sibuk dengan Naya. Kamu dimana
Naya?
“Lang, lo kok diem aja sih dari
tadi? Lo masih marah sama gue? Maaf
Lang, beneran deh, elo kayak nggak
tahu gue aja. Hari ini lo gue traktir, deh, gimana? Laaaaang!!”
Bryan mengetuk-ngetuk kepalaku. “Lo kenapa sih? Ngelamun aja.
Cewek itu lagi?”
Aku mengangguk. “Tadi gue ketemu dia lagi, terus dia
kedinginan gitu, waktu mau gue pinjemin sweater, dia udah nggak ada,”
“Yaaa kebelet pipis kali, eh, lo kan tahu namanya, kenapa
nggak lo cari aja satu sekolahan?”
Aku tersenyum kepada Bryan.
“Pinter lo! Ayo
temeni gue keliling sekolah, kita cari yang namanya Naya…” aku menarik tangan Bryan sampai kudapati Bryan
tak dapat kutarik karena badannya masih terduduk.
“Ayo buruan, Yan!
Ntar bel istirahanya kelar,”
Bryan masih tak bisa kutarik. “Yan…”
“Lo bilang tadi siapa namanya?” Bryan
malah menarikku duduk kembali.
“Naya, en a ye a, Naya, kenapa sih?”
“Lo nggak salah denger? Lo salah denger kali, Lang. Gue yakin namanya bukan
Naya,” ujar Bryan, kini dapat
kutangkap aura kacau dari wajahnya.
“Enggak! Gue nggak budek, Yan! Gue yakin banget namanya Naya.
Waktu gue manggil namanya Naya dia ngeliat kok, brarti kan emang namanya Naya.
Kenapa lo mendadak kacau gitu sih, Yan?”
Bryan menundukkan kepalanya. “Ada yang harus gue bilang ke elo, Lang,” gumamnya kemudian ia memandangku lama, kemudian ia
menggeleng.
“Enggak, sebaiknya emang Naya yang bilang ke elo, bukan gue.
Dia jauh-jauh kesini buat elo.”
Aku semakin tidak mengerti dengan perkataan Bryan, tapi aku mendengar nama Naya disebut. “Yan,
kita lagi ngomongin Naya yang sama?”
Bryan hanya tersenyum tipis, senyum yang paling mengerikan, menurutku.
“Iya, kita ngomongin Naya yang sama, Inayah
Vageza.”
Aku menaikkan alisku. “Ha?”
Treeeeng. Bel tanda istirahat usai berbunyi.
“Yah, Yan… Gara-gara elo nih, gue jadi nggak ketemu sama Naya
lagi.” Ujarku.
“Yan? Yah.. gue ditinggal,” Bryan
tak menanggapiku, ia malah mendahuluiku.
Sesampainya di ruangan
kelas, aku tidak dapat menemukan Bryan.
Kamar mandi kali tu anak. Tapi,
ternyata tas Bryan juga sudah lenyap
dari bangkunya.
“Jef, Bryan tadi
udah masuk kelas belom?” tanyaku pada temanku yang duduk di belakangku.
“Tadi dia kesini, tapi terus dia keluar lagi bawa tasnya.
Kayaknya dia mau ke UKS deh, lemes gitu,”
Aku mengangguk-angguk. Susul Bryan ah! Baru
saja aku melangkah keluar dari kelas, Pak Parjo,
guru matematika yang akan mengajar kelasku sekarang berdiri di hadapanku.
“Hayo! Jangan bolos. Masuk, masuk.”
“Tapi, Pak…” Sebelum aku melontarkan alasanku yang pasti
tidak diterima, Pak
Parjo langsung sudah mendorongku
masuk kelas, aku pun pasrah.
Aku
menghentikan motorku. Naya! Kulihat
Naya sedang duduk di salah satu
ayunan di taman kota. Tanpa pikir panjang, aku segera memarkir sepeda motorku.
Setengah berlari, aku menghampiri Naya.
“Halo, Nay…” aku menyapanya dan duduk di sampingnya.
“Hai
Galang,” Jawaban singkat dari Naya, tapi dapat
kurasakan jantungku meloncat-loncat.
“Nay, kemarin tiba-tiba kamu ada di depan rumahku terus pas
aku mau nyusul kamu, kamu udah ilang. Tadi, baru aku tinggal sebentar, kamu
juga tiba-tiba ilang. Kamu kok suka ilang-ilang gitu, sih Nay?” Naya tak
menjawab pertanyaanku. Beberapa menit diam, Naya tak kunjung buka suara. Apa gue salah, ya, nanya-nanya gitu sama
Naya? Ya salahlah! Baru kenal masak langsung nyerocos giru?! Aku merutuki diriku
sendiri. Aku menghadap Naya. “Nay, maaf kalo… Nay?” Aku memperhatikan Naya,
pandangannya lurus ke depan. Aku menyamakan pandanganku dengan pandangan Naya. Aku
menajamkan penglihatanku.
“Kamu ngeliatin cewek sama cowok seragaman itu?” tanyaku.
Namun, Naya tak menjawab pertanyaanku, tatapannya masih lurus ke depan.
Penasaran, aku pun diam dan mau tak mau ikut melihat apa yang dilihat Naya.
Tak ada yang menarik
dari pasangan itu, pemandangan klise
yang sering terjadi pada anak-anak seumuran kami yang sedang jatuh cinta. Gadis
berseragam putih abu-abu sibuk mengajak pasangannya untuk tidak terus berkutat
dengan—entahlah, yang jelas pemuda itu serius dengan sesuatu yang dipegangnya.
Namun, kegiatan si pemuda terhenti ketika si gadis membisikkan sesuatu kepadanya.
Raut wajah si pemuda berubah seketika, mengatakan sesuatu yang—sepertinya
berulang-ulang—kepada si gadis. Sedangkan si gadis, hanya tertawa-tawa dan
gadis itu berlari. Gadis itu terus berlari dan berhenti tepat di tengah jalan,
gadis itu meneriakkan sesuatu. Namun, belum selesai gadis itu berujar, sebuah
mobil Honda Freed melaju ke arahnya
dan kecelakaan pun tak dapat terhindarkan. Si pemuda, segera menghampiri si
gadis yang sudah tergeletak bersimbah darah. Namun, nasib malang menimpa si
pemuda, belum sampai ia di tempat si gadis, tiba-tiba sebuah mobil sedan
menghantam tubuh si pemuda, membuat si pemuda terpelanting hingga kepalanya membentur
tiang listrik.
Aku tertegun. Tubuhku
lemas seketika. PSP, kecelakaan dan
Naya. Semua tergambar jelas di hadapanku. Jantungku ikut berdetak cepat dan dadaku
sesak. Aku memutar kepalaku, Naya sudah tidak ada lagi di sampingku.
“Maafin gue, Lang,” tiba-tiba Bryan
sudah ada di sampingku, menggantikan tempat Naya tadi. “Gue bener-bener nggak
bermaksud buat elo lupa sama kejadian ini. Gue cuma nggak mau elo nyalahin diri
lo sendiri karena kematian Naya.” Suara Bryan
terdengar parau. “Bukan berarti gue nggak mau cerita, gue udah janji sama
keluarga lo dan diri gue sendiri, kalo gue bakal cerita sama lo. Asal lo inget
sama Naya dikit aja, gue bakal cerita sama lo. Tapi sampe empat bulan, lo nggak
nunjukin tanda-tanda kalo lo inget sama Naya…” Bryan
menghela napas. “Sampe akhirnya Naya sendiri yang datang ke elo, nunjukin
semuanya, dia bawa lagi peristiwa empat bulan yang lalu ke hadapan lo biar lo
inget,”
Aku tersenyum paksa. “Naya pernah ngomong sama gue kalo dia
bakal buat gue nggak lupa seumur hidup sama dia.”
Empat bulan yang lalu…
“Lang,
udah dong mainnya! Aku dianggurin terus niiih…”
Galang
menghentikan permainannya dan menoleh ke arahku. “Sabar, ini juga bosnya udah game over, Nayaaaa…”
Galang
melanjutkan keterpakuannya kepada PSP.
“Galaaaaaang…
Katanya udah game over, kok masih lanjut main, siiiih?” ujarku
gemas, penyakit Game Mania-nya Galang
kadang-kadang membuatku emosi.
“Itu kan bos
yang level 5, masih ada 5 level lagi, nih…”
Aku menatap
Galang tajam, tapi yang ditatap tak menyadari kalau dirinya sedang ditatap.
Akhirnya aku mendapat ide agar Galang berhenti bermain. Bodoh amat, deh, yang penting Galang berhenti main. Aku pun mendekatkan mulutku di telinganya.
“Aku suka
kamu.” Akhirnya kata itu keluar dari mulutku.
Seperti
dugaanku, Galang menghentikan permainannya dan ia langsung menatapku sambil
mengernyitkan kening.
“Kamu apa aku?”
Aku tak dapat
menahan tawa melihat ekspresi Galang, wajahnya terlihat sangat terkejut
sehinggak tidak dapat menutupi kepolosan yang tersembunyi dari wajahnya.
Itulah, alasan aku menyukainya. “Aku suka kamu, Galang…”
“Ha? Ngomong
lagi, aku nggak percaya!” Galang terlihat shock—mungkin.
“Nih, denger
ya. Aku bakal buat kamu nggak lupa seumur hidup sama aku dan sama hari ini,”
Aku berlari menuju jalan—bukan jalan utama sebenarnya—masih terus tertawa, aku
memang paling tidak bisa melihat ekspresi ‘polos’ Galang.
Aku berhenti
tepat di tengah jalan, aku menarik napas untuk mengumpulkan suara.
“Galaaaaang!! Aku suka….” Tiba-tiba aku mendengar suara decitan rem mobil,
sejurus kemudian aku merasakan tubuhku berbenturan dengan sebuah mobil, dan
seketika pandanganku menjadi gelap.
Comments
Post a Comment