Apa Dia Sakit Hati?

"Bacanya pake cermin."
cerita sebelumnya...

“Lia, ini bukumu yang dipinjem Ari. Tadi Ari nitip ke aku…” Rizki, teman sekamar sekaligus teman sebangku Ari menyerahkan buku catatan yang dipinjam Ari tempo hari. Agak aneh juga, tumben-tumbenan Ari tak mengembalikannya sendiri.

“Oh oke. Makasih, ya, Ki.”

Rizki tersenyum-senyum melihatku. “Di halaman paling belakang ada tulisannya dari Ari.”

Aku mengerutkan kening dan membuka halaman paling belakang. 

“Tulisannya bisa dibaca pake cermin, Li.” Rizki memberiku petunjuk, kemudian ia meninggalkanku.

Karena tidak ada cermin, aku memutuskan untuk membacanya di kamar asrama setelah pulang sekolah. 

Setelah menamatkan sekolah dasar, aku melanjutkan SMP di luar kota. Di luar kota, aku di sekolahkan di sekolah yang berasrama. Asrama artinya setelah 12 tahun diurus oleh orang tua, untuk pertama kalinya aku diurus oleh Ibu Asrama atau lebih tepatnya mengurus diri sendiri. 

Jika selama 12 tahun aku bangun pagi oleh suara Ibu yang lembut, dibujuk-bujuk sampai bangun. Di asrama aku dibangunkan satu kali saja, kalau tidak bangun artinya ditinggal dan tidak sekolah. Tidak sekolah artinya dihukum.

Sekolah di asrama itu kejam. 

Tapi nggak sekejam dosen pembimbing yang nggak nge-acc judul, padahal itu judul hasil petualangan ke Timur bersama Kera Sakti—eh, maap curcol.

Sekolah asrama itu banyak aturan. Kalau aturan tidak ditaati akan dihukum. Hukumannya juga nggak kalah sadis. Aku pernah dihukum scoot jump seratus kali hanya karena lemariku berantakan. 

Aku pernah disuruh jalan jongkok 4 KM cuma gara-gara telat shalat subuh satu rakaat. Dulu sih kuat, sekarang? Jalan kaki 4 KM kalo nggak pake muntah aja sukur.

Masih banyak aturan yang sangat ketat lainnya yang membuat aku semakin lama mau tidak mau terbiasa.

Tetapi begitulah tujuan sekolah yang berasrama. Agar siswa-siswinya menjadi anak yang mandiri…. dan kuat. 

Aku suka kamu. Mau jadi pacarku nggak?
“Cieeee… Ditembak sama Ari. Ehem. Ehem.” Putri, teman sekamarku mengejek. 

Aku tersenyum, bukan karena senang diejek oleh Putri, tapi senang karena membaca tulisan yang terpantul di cermin.

Ari adalah teman laki-laki terdekatku. Aku mulai dekat dengannya sejak ia memergokiku menangis sendirian di perpus. Aku menangis karena merindukan Mama dan Papa. Kemudian Ari datang dan ia menghiburku. Sejak itu Ari mulai gencar mendekati. Semua teman-temanku yang menyadarinya mulai menjodoh-jodohkan kami berdua. 

Ari tipe yang “dewasa” untuk anak seumurannya, walaupun dia nggak brewokan. Serem kalo anak umur 13 tahun udah brewokan.

Ari tidak pernah bertingkah konyol dan kekanak-kanakan seperti anak laki-laki lainnya. Begitulah menurutku dan menurut teman-teman perempuanku lainnya ketika itu. Kami semua sepakat, bahwa kami menyukai orang yang “dewasa”.

Padahal waktu itu kami tidak tahu-menahu arti sesungguhnya dari dewasa. 

Aku dan Ari pun berpacaran, tanpa sepengetahuan senior. 

Selain peraturan dari asrama, kami juga harus memenuhi peraturan senior. Tentu saja peraturan ini dibuat tanpa diketahui oleh pihak asrama. Sebagai siswa tingkat pertama, tentu saja kami jadi pihak yang paling tertindas. Harus mengikuti peraturan asrama plus mengikuti aturan dari tingkat senior. Salah satu aturan dari senior adalah: siswa tingkat pertama dilarang berpacaran. 

Peraturan aneh yang entah berdasar atas apa. Tetapi memang itulah yang terjadi.

Peraturan ini khusus untuk anak perempuan. Tentunya ada peraturan lain yang dibuat oleh senior laki-laki khusus untuk anak laki-lai dan pastinya tidak se-lebay ini.

Setelah dua bulan aku berpacaran diam-diam dengan Ari, aku merasa bosan padanya. Ari bersikap seperti teman biasa. Dia tidak perhatian. Tidak pernah cemburu. Tidak pernah mengistimewakan aku. Dia cuek. 

Sebagai pacar, dia nggak peka—waktu itu aku belum tahu istilah ini. Akhirnya, pada satu liburan panjang, aku meminta dia meneleponku.

“Ri, kita putus, ya. Aku takut katauan sama senior kalo kita pacaran.” Kataku berbohong.

“Oh gitu ya? Yaudah nggak papa…”

Tut. Tut. Tut. Dia mematikan sambungan telepon.

Sejak itu kami menjadi teman biasa. Dia memperlakukanku selayakmya temannya yang lain. Tidak ada rasa canggung ketika bertemu. Tetapi juga tidak sedekat dulu. 

Yang aku pikirkan sampai sekarang adalah: apakah dia sakit hati? 

Mungkin dia sakit hati atau mungkin tidak. Entahlah, aku tak pernah berani menanyakannya. Hingga sekarang, meski aku memiliki kontaknya. 

Aku takut dia tidak pernah menganggap aku pernah ada di hidupnya.

Wajar. 

Siapa, sih, yang peduli dengan cinta anak monyet di tahun pertama SMP?




Comments

  1. Hehehe cinta monyet selalu seru untuk dibahas yaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. sekaligus cinta yang paling sederhana juga sih :") nggak ribet kayak cintanya orang dewasa :"

      Delete
  2. Salah jalur? Kera Sakti ke barat, kamu kenapa ke Timur?

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah pantes judul ditolak, ternyata selama ini berpetualang sama Kera Sakti yang salah....-_-

      Delete
  3. aduh..... kalau udah sakit hati susah banget nyari obatnya. mudah2an segera menemukannya ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. menemukan obatnya atau menemukan orang yang tepat? :D

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

SAYA DEAL DONE!

[CERPEN] Bagimu, Kita Hanyalah Dua Orang Asing

Sifat Penting yang Harus Dimiliki Pekerja: Gelas Kosong & Baby Eyes