Kakak-Adik Zone

FUFUFUFUFU~




Menjadi siswi tingkat pertama di asrama penuh dengan warna. 

Warna hitam. Kelam. 

Tiada hari tanpa hukuman dari pihak asrama. Tetapi yang membuat hidup di asrama tambah pekat adalah senioritas. Kami bahkan lebih tunduk kepada senior daripada kepada Ibu Asrama. 

“Dek, aku ke kamar mandi duluan, dong! Kebelet, nih…” 

Padahal yang dipanggil “Dek” tadi udah nahan sejak setengah jam yang lalu.

“Dek, aku pinjem jaketmu, ya. Besok aku balikin.”

Tapi jaketnya nggak dikembalikan sampe berminggu-minggu, pas diminta malah hilang. 

“Dek, punya makanan nggak? Laper banget aku…”

Karena nggak punya keberanian buat ngelawan, akhirnya snack terakhir terpaksa direlakan buat senior tersayang.

Anak bawang emang nggak punya kuasa apa-apa. Mau ngadu? Yang ada habis ngadu bakal dibully habis-habisan. Mau ngelawan? Yakin berani?

Akhirnya semua memilih diam. Ada beberapa yang nggak tahan diperlakukan seperti itu, mereka memilih pindah sekolah. Hidup di asrama juga berlaku seleksi alam. Yang mampu beradaptasi yang bertahan. 

Pada suatu hari Minggu pagi yang cerah, sehabis kerja bakti, Putri menghampiriku.

“Habis ini temenin ke lantai atas gedung sekolah, ya?” ujarnya setengah berbisik.

“Mau apa?” 

“Ketemu orang.” 

Aku memandanginya sambil tersenyum. Ia ingin bertemu pacar atau calon pacarnya. Jika hari libur, lantai atas gedung sekolah seperti tempat tersembunyi untuk anak-anak tingkat pertama yang ingin bertemu dengan pujaan hati tanpa ketahuan senior.

Sampai di sana, aku sedikit kaget dengan orang yang akan ditemui oleh Putri. Dia adalah seorang senior. Ehm. Dia bukan saja melanggar peraturan, tetapi sama saja ia bunuh diri dengan menjalin hubungan dengan senior. 

Aku memandangi Putri dan Si Senior yang tak kutahu namanya dari kejauhan, sambil mengawasi kalau-kalau ada seseorang yang datang. Aku was-was.  

“Kamu temennya Putri?” seorang mengejutkanku. Aku memandangnya sesaat, dia juga senior. Mau apa dia ke sini?

“I—iya.” 

“Santai aja. Aku nemenin Arif.” Si Senior menunjuk senior yang saat ini sedang terlihat asik mengobrol dengan Putri.

“Oh.” Pikiranku semakin tidak tenang. 

Bagaimana jika senior-senior ini bercerita kepada teman perempuannya? 

Matilah kita, Put!

“Katanya di asrama perempuan ada peraturan anak tingkat pertama nggak boleh pacaran, ya?” 

Aku diam, tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Bisa saja dua senior ini sebenarnya adalah mata-mata senior perempuan. Mereka berpura-pura mendekati Putri untuk mencari-cari kesalahannya, kemudian jika Putri menjelek-jelekan senior perempuan maka dua mata-mata ini akan mengadu kepada senior perempuan. Sialnya bukan hanya Putri yang terjebak. 

“Santai… Peraturan kayak gitu udah jadi rahasia umum. Tapi kita nggak mau ikut campur. Urusan asrama perempuan ya urusan mereka. Kita ngurusin yang laki-laki aja.”  Ujar Si Senior seperti memahami arti kediamanku.

Aku lega mendengarnya. Tetapi untuk jaga-jaga aku tetap tidak mau membicarakan apa pun tentang senior perempuan kepadanya. Sembari menunggu Putri dan Kak Arif, kami berdua pun mengobrol. 

Kemudian tiba-tiba, di suatu hari di mana untuk kesekian kali aku menemani Putri bertemu dengan Kak Arif, kudapati diriku tengah menyukainya. Dia. Senior pertama yang mengajakku mengobrol. 

Bukan hanya Putri yang senang jika bertemu dengan Kak Arif, aku juga senang, dengan alasan lain tentunya. Semakin sering kami bertemu, rasa sukaku semakin besar. Namun aku memilih diam, tak ada satu teman pun yang kuberitahu, termasuk Putri. Aku tidak ingin berurusan dengan senior, terlalu beresiko.

“Aku suka sama kakak.” Ujarku spontan. Asli. Aku nggak bisa menahan perasaanku lagi.

Wajahnya terlihat tenang menanggapi pernyataanku. “Kamu katanya nggak mau berurusan sama senior…”

“Iya, sih…” aku bimbang. 

“Kita jadi kakak sama adik aja, nggak masalah, kan?”

Saat itu, keputusan “kakak-adik”-an menjadi hal yang paling tepat untuk kami berdua. Hanya saja, aku tidak tahu kalau sebenarnya “kakak-adik” hanyalah kedok seseorang untuk menolak secara halus. Saat itu aku bahagia sekali. Punya pacar, eh, kakak seorang senior yang termasuk jajaran senior populer. HAHAHA

Tapi itu nggak berlangsung lama. 

Putri dan Kak Arif putus. Aku pun tidak punya alasan untuk bertemu dengan kakakku itu. Berbulan-bulan kami tidak mengobrol. Bahkan ketika berpapasan pun aku tidak cukup berani menyapanya. Ingat, senior ada di mana-mana! 

Kemudian, aku mendengar kabar bahwa Kak Karina—salah satu senior perempuan, tengah berpacaran dengannya. Dengan “kakakku”. 

Sedih, jelas. Tetapi rasa sedih itu nggak cukup untuk membuatku menangis. Seiring kelulusannya, aku pun melupakan perasaanku padanya. 

Hanya satu yang kuingat sampai sekarang, tanggal lahirnya: 1 Oktober 1992. Dan aku sesekali masih mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya lewat twitter. Ia selalu membalas, dan ia masih memanggilku “adik”.

Yang menyedihkan dari kisah ini adalah di umurku yang belia, bahkan aku sudah terjebak dalam dilema cinta masa kini yang bernama “Kakak-Adik Zone”.

Nasib. 

Comments

  1. Dilema yah kalau ada di posisi itu. Jujur aku juga pernah berada di posisi persis seperti itu lebih tepatnya sih friendzone. hmm nggak enak banget mau cemburu juga gak ada hak. (malah curhat) xD

    ReplyDelete
  2. Lompatan ceritanya buru-buru amat ya, hehe. Btw, kayaknya kamu nggak sendiri deh terjebak di kakak-adik-zone sejak belia. Kakak gue juga pernah. HAHAHA

    ReplyDelete
    Replies
    1. lompatan antar cerita, atau lompatan antar paragraf dalam satu ceritanya kakak?
      haha sukurlah punya temen :"

      Delete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Wew..banyak kali sepakterjangmu zul..
    ketinggaln banyk ni..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

SAYA DEAL DONE!

[CERPEN] Bagimu, Kita Hanyalah Dua Orang Asing

Sifat Penting yang Harus Dimiliki Pekerja: Gelas Kosong & Baby Eyes