Siapa Menyakiti Siapa?


Siswa-siwi asrama tingkat dua merupakan anak-anak paling netral di sekolahku. Kami masih terikat peraturan asrama, yang terkadang kami langgar dan siasati agar terbebas dari hukuman. Peraturan senior tidak lagi berpusat pada kami. Meski kami masih harus berhati-hati dengan mereka. Tetapi kami telah terbiasa. Senioritas bukanlah menjadi masalah besar untuk kami, murid-murid tingkat dua. 

Di sekolah ini, aku tak pernah mengenal anak laki-laki mana pun selain teman seangkatanku—tambahan untuk Kak Arif dan “kakakku” tentu saja. Suatu hari, aku menemukan secarik kertas di halaman terdepan buku catatan. 

Nanti sore. Lapangan basket.
-Kenny


“Kamu kenal Kenny nggak, Put?” 

Putri memiliki banyak channel, hampir semua orang di sekolah ia kenal dan mengenalnya. 

“Kenny… Kenny… Oh, Kenrizky Bhaskara?” 

Aku menggeleng. Tak pernah mendengar nama itu.

“Kayaknya iya deh, nggak ada lagi yang namanya Kenny di sekolah ini. Dia senior, tapi nge-geng sama anak-anak junior. Rada freak katanya. Kenapa?”

Aku menunjukkan kertas tadi kepada Putri.

“Bisa aja surat iseng, Li. Ntar cek aja, aku tahu orangnya, kok.”

Sorenya kami menuju lapangan basket, kami sengaja mengendap-endap untuk memastikan orang yang mengirim surat memang Kenny. 

Lima menit kemudian terlihat seorang anak laki-laki membawa bola basket. Dari jauh sih, wajahnya lumayan. Ia memantulkan bola dan masukkannya ke dalam ring dangan jarak yang cukup jauh.

“Yang itu, Put?”



Putri mengangguk.

“Kok kayaknya biasa aja, nggak freak kayak yang kamu bilang?”

“Aku nggak tahu, Li. Anak-anak yang bilang kalo dia aneh. Dah sana gih, tanya ini surat beneran dia yang kirim atau enggak.” Putri mendorongku keluar dari persembunyian. 

Aku berjalan ragu-ragu ke arahnya. Ia masih serius men-dribble bola basket, setelah berhasil mamasukkan bola melewati ring, dia baru menyadari kehadiranku. Senyumnya terkembang, kemudian ia setengah berlari menghampiriku.

Sejauh ini, dia jauh dari kata freak, seperti yang dikatakan Putri tadi. Malahan ia terlihat sangat normal, wajahnya juga lumayan. Dan yang paling membuat aku tertarik adalah dia anak basket! 

“Halo.” Sapanya.

“Kamu Kenny? Yang ngasih surat ini?” tanyaku tanpa basa-basi.

Dia mengangguk, senyuman tipis menghiasi wajahnya.

“Kok kamu tahu aku? Ada apa?” 

Dia menatapku, kemudian ia menarik napas.

“Jangan kaget, ya. Sebenernya aku udah lama suka sama kamu. Sejak kamu masuk sini. Tapi aku tahu, ada peraturan yang nggak bolehin anak baru pacaran. Yaudah aku tunggu kamu sampe kamu naik kelas.” 

“Hmm…” aku tak tahu harus menjawab apa. Tetapi aku melihat gerak-geriknya yang gelisah.

“Tapi aku kan baru kenal kamu…” 

“Ya nggak papa, kita pdkt aja dulu.” 

Sejak itu, kami berdua menjalani fase yang ia sebut pdkt. Ia begitu manis dengan surat-surat yang diberikannya. Kata-kata dalam tulisan itu pun tak kalah manisnya. Pelan-pelan, aku mulai menyukai orang ini. 

“Nggak, Li! Kamu nggak boleh pacaran sama Kenny! Dia itu aneh, rada gila. Nggak ada yang mau deket sama dia kecuali anak-anak kelas tujuh, itu juga karena mereka takut.” Malik, provokator di angkatanku ikut campur.

Kedekatanku dengan Kenny memang sangat jelas terlihat. Tetapi tidak ada yang segamblang Malik berkomentar tentang hubunganku dengan Kenny, termasuk Putri.

“Kamu tahu nggak kelakuannya di asrama itu gimana? Dia itu sering joget-joget nggak jelas, gilalah pokoknya. Di sekolah emang dia kayak orang normal. Tapi di asrama? Beuuuh…” tambah Malik.

Pendapat Malik membuat telingaku panas. Aku memang tidak tahu kelakuan Kenny di asrama, tapi sejujurnya aku tidak peduli. Dia sangat normal jika bersamaku, dan aku sudah terlanjur suka padanya. Mana mungkin aku lebih mendengarkan kata-kata Malik yang seringnya melebih-lebihkan ini, daripada mendengar kata hatiku?

“Aku udah jadian kok.” Ujarku akhirnya. Aku tidak berbohong, dua hari yang lalu aku baru saja menerima ia menjadi pacarku.

Mata Malik membulat. “Terserah deh, Li. Pokoknya aku udah ngasih tahu.” Malik pun berlalu dari hadapanku. Akhirnya.

Hubunganku berjalan baik dengan Kenny hingga bulan kelima. Beberapa orang masih memperingatiku bahkan mengolokku karena berpacaran dengannya, tetapi saat itu aku benar-benar tidak peduli. 

Di sekolahku, hanya senior tingkat akhir yang boleh membawa handphone. Satu kali, pernah aku meminjak handphone miliknya, Tanpa ia ketahui, aku memeriksa inbox-nya. Aku menemukan sejumlah nama perempuan dengan isi pesan yang mesra. Bahkan tak semesra ketika aku membalas surat-suratnya. Semakin aku ‘membongkar’ fitur pesannya, semakin banyak terlihat bahwa ia memiliki banyak ‘gadis dewasa’. 

Aku bahkan tak sanggup membuka semuanya. Dadaku mendadak sesak.

Esoknya kami bertemu—ia tidak tahu bahwa aku sudah mengetahui semua ‘simpananya’.

“Maaf Ken, tapi kayaknya kita putus aja…” mulutku bergetar ketika mengatakannya. Sekuat tenaga aku menahan air mata, namun ia mengalir. Ini pertama kalinya aku menangis karena laki-laki.

Kenny diam. Kemudian ia pergi begitu saja. Jelas ia marah, ia selalu begitu jika marah padaku.

Namun hatiku sedikit lega karena ia tak menanyakan alasan mengapa aku memutuskannya. Karena aku sendiri tidak sanggup mengatakannya. Aku hanya tidak percaya ia melakukan semua itu padaku. 

Sejak itu, ia menjauhiku, bahkan terkesan memusuhiku. Aneh memang, karena dalam kasus ini akulah yang seharusnya menjauh dan memusuhinya, karena aku yang disakitinya. Karena ia yang membohongiku.

Beberapa bulan lalu, Putri memberi kabar bahwa ia bertemu dengan Kenny. Putri bilang sekarang Kenny berpacaran dengan Kak Vira, senior yang dulu sekelas dengannya. 

“Kamu tahu nggak Li yang bikin berita ketemu mantanmu ini jadi luar biasa?” katanya di ujung telepon.

“Apa?” aku tak berniat menanggapi sebenarnya.

“Dia sama Kak Vira itu pacaran habis Kenny putus sama kamu, Li. Jadi, kalo dihitung-hitung mereka udah pacaran hampir 6 tahun! Gila, ada ya yang tahan sama freak-nya dia selama itu...” suara Putri terdengar nenggebu-gebu. "Eh tapi dia nggak freak lagi deng sekarang, malah keliatannya lumayan gitu, Li."

Aku diam, setelah kami putus, dia hanya memiliki satu wanita, sedangkan aku? 

Ada rasa iri sedikit menulusup, yang buru-buru kutepis. Rasa iri karena wanita yang bersama Kenny sekarang membuat dia berubah. Seandainya dulu mingkin aku lebih sabar, bisa saja sampai saat ini dia juga satu laki-laki dalam hidupku?

Mungkin.

Comments

  1. Sedih :')
    Sudahlah masih ada harapan untuk hari esok untuk bertemu dengan seseorang yang lebih baik, kan? :)

    ReplyDelete
  2. please oak... jangan ada lagi yang tersakiti. lebih baik bahagia..... :)

    ReplyDelete
  3. Akan ada masanya, hadir pula orang yang tepat nantinya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

SAYA DEAL DONE!

[CERPEN] Bagimu, Kita Hanyalah Dua Orang Asing

Sifat Penting yang Harus Dimiliki Pekerja: Gelas Kosong & Baby Eyes