1000 Kali Patah Hati



Aku patah hati. Lagi. 

Setelah beberapa minggu aku bersikeras untuk bertahan, dan memperjuangankan rasaku untuknya dengan ‘berdarah-darah’.


Sama kayak yang udah-udah, orang ini juga lebih dulu meninggalkan aku yang lagi sayang-sayangnya.  Dia pergi, dan kepergiannya ini nggak pernah ada di pikiranku. Terbesit sedkitpun tidak. Aku nggak punya persiapan untuk ditinggal lagi sama orang yang udah terlanjur kusayang.  Aku selalu nggak siap patah hati ketika sedang menyayangi seseorang. Karena aku nggak pernah suka ditinggal. Karena aku tahu sakitnya ditinggal.

Aku ingat ucapannya terakhir ketika kami bertemu, “Rasanya udah beda. Kamu nggak salah. Kamu udah jadi cewek yang baik banget. Aku yang salah. Hatinya yang salah.” 

Saat itu, aku hanya bisa diam sambil menatapnya—berharap setelah mengatakan hal yang menyakitkan itu, dia akan tersenyum dan berkata. “Aku lagi belajar acting kok, demo selanjutnya bakal ada perform drama, nah aku jadi aktornya.”

Tapi dia enggak melakukan itu. Dia terus bicara dan menjelaskan bahwa bukan aku yang harus disalahkan atas kegagalan ini. Padahal aku nggak butuh itu. Aku nggak peduli seberapa benarnya aku, yang kupedulikan hanya dia tetap bersamaku.  Apa pun yang terjadi. Seberapapun salahnya dia.

Namun harapan itu pupus, setelah ia mengatakan. “Kamu bakal sakit hati  terus kalau hubungan kita dilanjutkan. Kalau kita memang jodoh—“ 

“STOP!!” Aku benci kata-kata itu. Seorang pernah mengatakan hal yang sama dan sekarang ke mana dia?  

Meski udah berkali-kali merasakan yang namanya patah hati, rasanya tetap aja bikin nyesek, susah napas, bikin nggak selera makan, bikin susah senyum, penginnya kabur dari dunia, dan bikin hujan.

Walau cuma  empat bulan, bisa dibilang ini patah hati yang paling parah. 

Kali ini aku sendirian. 

Nggak ada orang-orang  yang membuat aku terpaksa kuat. Nggak ada orang-orang yang mengajak tertawa dia atas kegalauanku. Nggak ada orang-orang yang membuat aku sejenak lupa dengan sakitnya. Nggak ada orang-orang yang mengajakku karaokean dan mengejek habis-habisan ketika aku memilih lagu galau di playlist.

Oh, Tuhan…. Aku merindukan ketiga manusia itu. :(

Pekerjaan magang sebenarnya bisa menjadi pelarian paling pas. Tetapi di tempat magang, aku hanya duduk dan mengerjakan. Tanpa ada yang mengajak mengobrol. Dan itu membuat fokusku lari. Aku mengingatnya. Merindukannya. Tergoda untuk mengubunginya. Kemudian sakit hati kembali karena ia tidak mengacuhkanku.  

Magang  yang  Sulit dan Tambah Dipersulit, Patah Hati dan Tanpa Teman menjadi kombinasi paling tepat dan lengkap sebagai alasan untuk aku tenggelam ke muka bumi. Satu-satunya yang jadi penguatku saat ini hanyalah kedua orang tua yang selalu khawatir dan mendoakanku. Cuma itu. 

Mimpi buruk. Cepatlah berlalu. :(

Comments

Popular posts from this blog

SAYA DEAL DONE!

[CERPEN] Bagimu, Kita Hanyalah Dua Orang Asing

Sifat Penting yang Harus Dimiliki Pekerja: Gelas Kosong & Baby Eyes