Mengorbankan Kenyamanan

Sepuluh bulan tahun lalu mati-matian kuhabiskan waktu untuk berusaha, menunggu dan berdoa demi kebahagiaan lahir-batin dan kehidupan normal tanpa beban. Selama itu pula, aku nggak bisa tidur dengan nyenyak.  Ke manapun aku pergi, selalu dihantui perasaan tak nyaman. Tidak nyaman dengan nasib yang tak pasti. Tidak nyaman karena merasa seperti dipermainkan oleh takdir. 

Hari-hari kelam. Lelah, capek, frustrasi dan depresi udah kayak makanan sehari-hari. 

Memasuki bulan kesebelas keinginanku terkabul. Untuk pertama kalinya dalam sepuluh bulan, aku bisa menutup mata dengan tenang. Bisa tersenyum lebar tanpa cepat-cepat menyudahinya karena ingat akan beban yang ada. Perasaan nggak nyaman seolah berubah menjadi kapas. Ia terbawa angin jauh sekali.

Memasuki bulan terakhir di 2016 aku merasakan puncak kebahagiaan hakiki yang setahun ini seperti menjauh dari kehidupanku. 

Mungkin melihat betapa bahagianya aku berada di sana, seseorang pernah bertanya padaku, "Apa yang bikin kamu betah di sini?" 
Tanpa pikir panjang, aku langsung menjawab, "Karena aku merasakan atmosfer ceria-nya. Karena orang-orang super menyenangkan yang ada di dalamnya. Karena ada kamu." Dengan senang dan sepenuh hati aku menjawab begitu. 

Lalu, di pertengahan Januari negara api menyerang. Aku dihadapkan pada sebuah pilihan. 

"Mau nggak gabung sama kita?" 

Menimbang beberapa menit akhirnya kata 'oke' meluncur dari mulutku.

Aku tahu konsekuensi yang harus kuterima setelah mengatakan oke tadi. Aku akan meninggalkan tempat ternyaman yang memberikan kebahagiaan tanpa perasaan mengganjal di hati. Aku melepaskan perasaan lega yang nggak pernah kurasakan hampir setahun lamanya. 

Kenapa dengan mudahnya aku meninggalkan semua kebahagiaanku?

Karena aku merasa bahwa aku butuh itu. Setidaknya setelah mendengar perkataan Mas CEO yang men-copy perkataan orang lain, kira-kira bunyinya seperti ini;



Jangan pernah merasa nyaman. 

Kata-kata itu kayak ultimatum. Aku merasa tersindir sekaligus risau karena selama dua bulan ini aku merasa terlalu nyaman dan itu artinya aku tidak tumbuh menjadi lebih baik. Analoginya, begitu, kan? 

Atas dasar pemikiran itulah, sekarang aku di sini. Mempraktikan apa yang sudah dikatakan. Berada di tempat yang untukku masih jauh dari kata nyaman. Aku ingin tumbuh karena aku butuh untuk menjadi lebih baik. Dan itu ada harganya, dengan mengorbankan kenyamananku.

Perasaan nggak nyaman itu emang nggak enak. 

Jika aku mengikuti hati dan perasaanku, mungkin aku sudah menangis-nangis minta kembali. Aku punya beribu alasan untuk kembali ke sana, ke tempat yang bikin aku nyaman dan nggak butuh pacar untuk membahagiakan. 

Tapi untuk kali ini, aku nggak akan menanyakan pendapat hati. Entahlah, aku punya kepercayaan baru: keputusan yang berasal dari hati biasanya akan mengecewakan. 

Nggak jarang aku merutuki merutuki dan menganggap aku bodoh sekali, apalagi pas lagi rindu-rndunya, Tapi semua butuh proses, tugasku hanya menikmati prosesnya. Toh, semua ini pun akan berlalu. 

FIGHTING! 

Comments

Popular posts from this blog

SAYA DEAL DONE!

[CERPEN] Bagimu, Kita Hanyalah Dua Orang Asing

Sifat Penting yang Harus Dimiliki Pekerja: Gelas Kosong & Baby Eyes